Kamis, 19 Maret 2020

Love Hate Relationship between Me and the Red Jacket.


Masa akhir kuliah, diri ini banyak melakukan refleksi atas apa yang sudah terjadi di masa lampau. 3.5 tahun haha hihi di kota pelajar memberiku banyak kesedihan, kegembiraan, kesempatan, dan kekesalan sebab ditikung konco dewe haaasssh hidup menjadi mahasiswa tidak seindah mulut para motivator expo kampus. 
Mari kuawali dengan kehidupanku yang diwarnai oleh organisasi mahasiswa bernama IMM. IMM, yang memiliki nama panjang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, adalah organisasi otonom milik muhammadiyah di lingkup kampus. Ia hidup di kampus-kampus sebab pangsa pasarnya adalah mahasiswa, baik dari PTN, PTS, maupun PTM. Ia menjadi tempat berhimpun para mahasiswa yang ingin bergerak, menjadi progresif, selalu aktif, turut menumbuhkan jiwa sosial, memperdalam ilmu agama, menimba ilmu dari para tokoh, sampai panjat sosial agar cepat sampai ke hierarki paling tinggi dari struktur sosial masyarakat. Pokoknya macam-macam yang akan kamu lakukan dan dapatkan selama bergiat di IMM.
Nah, IMM di UGM adalah anomali. UGM adalah kampus PTN-BH, IMM adalah entitas resmi Muhammadiyah. Keduanya seakan menggambarkan peribahasa ada rotan ada duri. Mengapa?  Sebab ada batas-batas dimana IMM tidak bisa masuk dalam ranah kemahasiswaan resmi kampus, pun dengan UGM yang tidak bisa serta-merta mengatur gerak langkahnya sebab berhadapan dengan entitas yang sama besarnya (Muhammadiyah -red). Meski begitu, keduanya sama-sama saling ambil untung meski kadang sesekali buntung.
IMM UGM termasuk kedalam organisasi ekstra mahasiswa eksternal. Statusnya tidak diakui kampus. Ia bukan UKM, bukan BSO, bukan pula komunitas. Ia tidak berhak menerima bantuan dana dari kampus, pun menggunakan fasilitas fisiknya. Anehnya, Ia boleh tetap hidup dan berkegiatan asalkan tetap mematuhi peraturan kampus. Ya sudah, gas mlaku loske wae rasah rewel.
Perkenalan awalku dengan IMM UGM bermula dari pesan berantai yang kuterima di grup LINE alumni Muallimin Muallimat Gadjah Mada. Awalnya aku tertarik sebab aku ingin tahu ortom Muhammadiyah ini ngapain aja, sih. Meski awalnya mager, hamba bersyukur kepada kawan bernama Yacub Fahmilda, karib di Sastra Indonesia UGM, yang rela melakukan morning call berkali-kali agar tubuh ini bangun dari dipan menuju ke tempat pertemuan. Oke, mari bertemu di Grha Sabha Pramana (GSP UGM). Pertemuan berlangsung biasa saja. Kenalan, tanya motivasi ikut IMM dan latar belakang pribadi, lalu kumpul tiap klaster berbincang apapun. Lalu pulang. Selepas itu, ya sudah. Begitu saja ga ada apa-apa. 
Pengalaman awalku bergiat di IMM UGM diawali dari baksos di suatu kampung di atas Waduk Sermo Kulon progo pada Idul Adha 2016. Kader yang saya kenal waktu itu adalah Mba Neisha (Fisipol 12), Mas Fatah (SV 13), Mba Amsa (Fisipol 13), Mas Rusli (Filsafat 14), dan Afif (FIB 16). Selama tiga hari disana kami menyembelih hewan qurban, membagi sembako, dan mengadakan sekolah alam bagi anak sekolah dasar. Menyenangkan? Tentu. Impresi seperti itu perlu dirasakan oleh Maba seperti saya.
Setelah itu, hamba masuk ke struktural IMM UGM di bidang Media. Bidang tersebut dikomandoi Mba Amsa (Fisipol 13) dan dibantu Mba Rara (Fisipol 15). Kerjaan saya? Jadi admin sosial media. Yang lain? Bikin caption. Sudah, begitu saja. Selepas itu hamba vakum. 
Dipusingkan dengan event internal jurusan dan fakultas adalah hal pertama yang membuat hamba vakum dari IMM. Yang kedua adalah meningkatnya jabatan publik di lingkup jurusan, fakultas, hingga sekelas UKM universitas dalam satu waktu. Jabatan publik yang tidak main-main sebab diri ini adalah orang kedua di organisasi tersebut. Sedih, tapi harus dilakukan.
Vakumnya hamba dari IMM membuat diri ini sering malas untuk kembali bergiat disana. Angin anginan ikut kajian adalah penyakit pertama yang hinggap. Merasa bosan dengan ceramah yang, bagi hamba pada saat itu, memukul rata semua kajian terlalu normatif dan permisif. Penyakit kedua adalah sebelah mata memandang teman-teman kader tidak memiliki kultur selentur kawan-kawan soshum. Terlalu spaneng, agamis, dan eksklusif adalah citra yang menempel selama tahun kedua dan setengah jalan tahun ketiga kuliah. Waktu itu rasanya kesal sekali menyadari kenyataan bahwa IMM UGM tidak semenyenangkan itu.
Lucunya, hamba masih bertahan, bahkan hingga sekarang. Entah diri ini masokis atau bukan, tapi hamba merasa diri ini belum menyelam terlalu dalam. Hamba pernah berkata kepada alter ego diri, “Wong kita udah basah, ya nyebur aja sekalian.” Maka dari itu, menyelam sampai ke ujung terus hamba lakukan sampai sekarang.
Motivasi lain saat itu, bahkan sedari awal hamba berpakaian putih biru, sebab diri ini berprinsip seperti ini: “kalau ingin mengenal tuhan, cara kawan-kawan nahdliyin adalah suatu kesungguhan. Tapi kalau ingin mengenal manusia, maka cara Muhammadiyah adalah suatu keniscayaan.” diri ini merasa dekat dengan tuhan ketika memakai cara kawan-kawan nadhliyin dengan sholawat bersama habaib, zikir bersama selepas solat berjemaah, hingga ngaji kitab klasik setiap selesai solat. Tapi, hamba akan benar-benar bisa mengenal manusia dengan segala tingkah lakunya lewat Muhammadiyah melalui amal usahanya. Betapa, perangai manusia yang berbeda-beda itu tampak ketika dihadapkan dengan sesuatu yang wujud. 
Syukur, semesta atas izin tuhan yang maha pengasih mengizinkan hamba terus bergiat di IMM sampai sekarang. Merasakan berjuang ikhlas itu bagaimana, mencicipi hidup selo-selo spaneng sebagai pimpinan selama 390 hari, menimba ilmu dari para tokoh yang berhasil mengintegrasikan ilmu agama, ilmu sosial, dan kelurusan akhlak hingga hal-hal lain yang jika hamba tulis bisa jadi topik untuk tiap bab buku otobiografi Sholahuddin Al Ayubi: pikiran dan perbuatan saya (akan terbit kalau sedang otw jadi persiden).
Jadi, Begitulah, kisah hamba bersama IMM UGM. Cinta dan benci yang muncul beriringan setiap berkegiatan di IMM, UGM pula. Kadang Menyenangkan tapi lebih banyak menyedihkan. Memang diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak. Namun, semua itu tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian. Lagi pula, berjuang tidak sebercanda itu, bukan?
***
Ditulis di Yogyakarta, 19 Maret 2020.
untuk Luna DRW
oleh Sholahuddin Al Ayubi
Diiringi lagu “Rehat”-nya Mas Kunto Aji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar