Senin, 27 Februari 2023

Pasca Pirsa: Short Film “Tenang” (2021)

Pekan ini saya sedang membutuhkan film cengeng. Maka hari ini, saya akhirnya memberanikan diri untuk menonton film pendek berjudul “Tenang”.

Film ini sudah masuk daftar tonton Sholahuddin sejak setahun yang lalu. Terima kasih yang tak terhingga kepada salah satu influencer film di Twitter yang telah membuat daftar film pendek berkualitas yang bisa dinikmati kala senggang. Kegiatan makan bersama YouTube saya akhirnya tetap rutin terlaksana dan film pendek berjudul “Tenang” menjadi pilihan film yang saya tonton hari ini.

Kenapa perlu satu tahun untuk memberanikan diri menonton film pendek ini? Karena saya butuh waktu untuk menguatkan diri. Bagi saya, menonton film adalah cara untuk “mensucikan diri”. Film adalah wahana katarsis terbaik bagi diri saya. Maka dari itu, kadang saya selalu tidak kuat untuk menonton film cengeng setiap hari karena emosi saya tidak stabil.

Seperti judulnya, Film pendek “Tenang” mengambil inspirasi dari lagunya Yura Yunita dengan judul yang sama. Saya sudah mendengar lagunya terlebih dulu ketimbang filmnya dan menurut saya lagu “Tenang” itu cukup oke untuk mensucikan diri juga. Tak disangka, film pendeknya sendiri melebihi itu.

Film ini bercerita soal cara menghadapi kehilangan. Suatu pengalaman yang tidak akan pernah bisa kembali lagi. Suatu momen yang hanya bisa dikenang tanpa tahu pasti bagaimana selanjutnya. Apalagi, film ini berpusar pada sosok sentral dalam keluarga, yakni tentang seorang ayah.

Film berdurasi 7 menit ini minim dialog. Sosok Agus yang diperankan Ringgo Agus Rahman lebih banyak disorot dengan tatapannya yang kosong pasca bermimpi tentang ayahnya. Mimpi tanpa suara yang membuat hari-hari terasa kosong. Ketika sebuah kaset lawas ditemukan, besar harapan bahwa kaset tersebut bisa memberi jawaban mengenai mimpi semalam. Setelah dibersihkan, kaset itu ternyata memberi jawaban. Jawaban sepanjang 10 detik berbunyi, “Bisa, Gus?”

Film ini sederhana. Bagi pemirsa yang menontonya, pasti akan dapat langsung pesannya. Tapi, ketika saya menonton film ini, saya sendiri baru menyadari bahwa terkadang, hubungan ayah dan anak laki-lakinya terkadang berjalan aneh.

Beberapa anak di dunia ini terkadang condong dekat ke salah satu. Bisa dekat ke ibu atau bisa dekat ke ayah. Bahkan sering tidak condong pada keduanya. Tapi kalau boleh beropini, terkadang anak laki-laki jarang ada yang condong kepada ayahnya. Pun kalau dekat ke ayah, hubungan itu seperti love hate relationship.

Seorang laki-laki, di dunia yang mensyaratkan seorang pria tidak boleh lemah, membuat mereka harus kuat setiap hari. Mereka berjuang sendiri dan dengan caranya masing-masing mencoba untuk meninju congkaknya dunia. Termasuk saat “terluka”, mereka memberi treatment sendiri.  Tak heran, mereka kadang menyimpan “lukanya” sendiri.

Seorang anak yang dekat kepada ayahnya pun, kadang tidak bercerita ke ayahnya mengenai lukanya. Pun mungkin sama dengan si ayah, yang mungkin tidak berbagi cerita juga ke anak. Seorang ayah dan anak ketika duduk bersama lebih banyak menghabiskan waktu untuk bengong. Mentok berceloteh tentang otomotif atau sepak bola. Sambil sesekali ditemani rokok surya. Kalau berbagi soal kehidupan sehari-hari, mungkin lebih sering menjadi angin lalu. Bahwa dengan tahu kegiatan masing-masing saja terasa cukup. Padahal, setiap hari yang dilalui, mungkin ada sesuatu yang melukai hati.

Meski begitu, mereka mencoba untuk tetap peduli. Seorang ayah akan mencoba untuk membantu pria kecilnya seremeh apapun pertolongan itu. Seorang ayah akan hadir untuk membantu pria kecilnya keluar dari kesusahan.

Dialog ayah ke Agus berwujud “Bisa, Gus?” menurutku menjadi puncak dari film itu sendiri. Pesan yang maknanya, seorang ayah, sekeras apapun tetap akan memberi bantuan. Kalimat semacam “Bisa?”, bagi laki-laki, adalah selemah-lemahnya bentuk perhatian.

Bahkan, ingatan terkecil pun tentang hal pertama yang dia pelajari menjadi core memory dalam diri seorang laki-laki. Bahwa, mungkin, keahlian yang dia miliki sekarang, adalah apa yang dulu ayah ajarkan kepadanya. Laki-laki itu berjuang sendirian, meninju congkaknya dunia, dengan apa yang diajarkan ayahnya. Berharap suatu saat ketika ditanya, “kamu bisa?” ia dengan mantap menjawab, “Aku bisa.”.

Yogyakarta, 24 April 2022

Yura Yunita. 2021. https://www.YouTube.com/watch?v=BAS8cCdsdpU diakses pada tanggal 24 April 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar