Selasa, 02 Mei 2023

Pasca Festival GAHARU

“Rabu berangkat ya. Bantu acara yang dulu kamu ikuti”

Pesan teman hamba lewat telepon. Ada apa gerangan? Kenapa di sela-sela hamba menganggur, hamba yang papa ini dipanggil ke jogja? Diminta bantu acara yang pernah diikuti pula. Acara apa ya?

Ternyata, acara itu adalah Festival GAHARU. Festival yang mengambil nama pohon tersebut merupakan akronim dari Gerakan Pembaharu. Unik ya? Jelas, wong acaranya juga unik.

Festival GAHARU adalah program milik Ashoka Indonesia. Program ini termasuk bagian dari ‘Gaharu Muda’. Dengan mengusung tagline “Everyone A Change Maker”, Festival GAHARU mencoba meningkatkan potensi anak-anak muda indonesia.

Tahun 2022 yang lalu, hamba pernah mengikuti acara serupa. Waktu itu namanya Festival GAHARU juga. Tapi ada embel-embel ‘Mentor Muda’. Pelatihan yang diadakan secara daring tersebut mengundang seluruh kader muda Muhammadiyah untuk terlibat aktif mendorong perubahan pendidikan di indonesia. Kami-kami inilah yang nanti akan menjadi mentor cum fasilitator baik untuk diri kami sendiri dan anak-anak muda indonesia.

Acara yang hamba ikuti tahun 2022 waktu itu keren meski diadakan secara daring. Tak disangka, versi luringnya lebih keren. Festival GAHARU tahun 2023 mengambil tempat di Kaliurang Yogyakarta. Ashoka Indonesia mengundang 24 sekolah muhammadiyah dari seluruh indonesia untuk berkumpul dan berdiskusi di Kaliurang Yogyakarta.

Hamba di Festival GAHARU berperan sebagai co-fasilitator. Selama festival berlangsung, hamba menyaksikan antusiasme para peserta yang terdiri dari guru dan murid dari 24 sekolah muhammadiyah se-indonesia. Guru dan Murid, lewat peran fasilitator dan co-fasilitator, didorong untuk saling berdiskusi dan berinteraksi satu sama lain. Sekat antara guru dan murid coba dilebur agar tidak ada perasaan canggung meski tetap dalam taraf sopan santun.

Selama mengikuti Festival GAHARU, hamba menyadari bahwa generasinya sudah berbeda. Kalau dibanding dulu, generasi sekarang memang agak lain. Hamba mendapati beberapa hal.

Murid-murid jaman sekarang cenderung kritis. Mereka berani untuk mengutarakan pendapat yang ada di kepala mereka. Terkadang, mereka sering menyatakan ketidaksetujuannya. Semisal, peraturan sekolah yang dianggap merugikan murid dalam berekspresi. Agar aspirasi dipenuhi, mereka mendorong pihak sekolah agar membuka dialog agar ditemukan jalan tengah antara keinginan murid dan pihak sekolah.

Sikap seperti ini baru untukku. Di masa lalu, orang-orang yang kritis seperti itu dicap “rebel” dan jadi sasaran guru BK untuk ‘ditertibkan’. Sekarang, orang-orang rebel makin banyak karena mereka senasib sepenanggungan. Bahkan, mereka pintar untuk bersiasat dengan cara mengajak sekolah untuk berdialog agar ada jalan tengah. Fenomena yang bagus, pikir hamba.

Guru-guru jaman sekarang juga lebih terbuka. Terbuka disini bisa diartikan dalam banyak hal. Tapi pada momen ini, kata terbuka aku gunakan untuk mewakili sikap mereka dalam menerima gagasan dan perilaku baru. Semisal, gagasan agar melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar. Guru mengajak siswa untuk bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang baik. siswa didorong untuk aktif terlibat dalam proses penyusunan kurikulum agar kelas berjalan menyenangkan dan mampu mengeluarkan potensi terbaik mereka. Guru juga lebih bisa menerima perilaku baru dalam penggunaan teknologi misalnya. Anak jaman sekarang yang termasuk golongan ‘digital native’ haruslah diarahkan dengan benar. kolaborasi murid, gadget, dan guru ditingkatkan agar penerimaan ilmu pengetahuan dapat berjalan dari berbagai arah disertai dengan timbal balik yang bagus. Para guru jaman sekarang percaya bahwa dengan arahan yang baik, penggunaan teknologi dapat benar-benar bermanfaat untuk proses belajar mengajar.

Selama festival GAHARU berlangsung, interaksi antara guru dan murid menjadi titik utama dari pelatihan ini. Guru dan murid didorong untuk saling bahu membahu dalam mewujudkan ide dan gagasannya. Lewat konsep 5R ala Ashoka Indonesia, Guru dan Murid mengidentifikasikan potensi masing-masing sekaligus sekolah mereka. Riuh rendah suara guru dan murid yang berinteraksi membuat aku bergidik takjub. Antuasiasme terpancar dari mata mereka ketika berdiskusi. Nampak ada yang ngotot dalam menyampaikan ide, ada yang tertawa mencoba bercanda, ada yang termehek-mehek menceritakan kesulitan mereka dalam bersekolah, semua campur baur jadi satu demi sekolah yang lebih menyenangkan.

Semua itu menjadi semakin baik ketika para peserta Festival GAHARU diberi tips mengenai Story Telling. Tips ini diberikan langsung oleh Kak Amelia Hapsari, sineas asal Semarang yang menjadi Juri Oscars untuk wilayah Asia Tenggara. Kak Amelia Hapsari memberikan contoh bagaimana sebuah pengalaman hidup dapat bernilai lebih apabila disampaikan melalui story telling yang kuat. Renik-renik kehidupan yang kadang dianggap sepele dan biasa saja bisa menjadi sesuatu yang wow apabila kita pintar mengolahnya. Apalagi, dengan kekuatan media sosial, orang-orang dapat mudah tersentuh pengalaman yang kita rasakan karena terasa hidup lewat story telling.

Guru dan siswa yang ada di situ manggut-manggut mendengar pemaparan dari Kak Amelia Hapsari. Saat sesi tanya jawab, mereka menyampaikan pertanyaan yang hampir serupa. Sebagian besar dari mereka adalag orang eksak dan menganggap keterampilan story telling, baik lewat tulisan maupun lisan, hanya dimiliki mereka yang berasal dari ilmu sosial. Mindset ini ternyata tidak hilang bahkan sampai sekarang. Bahwa ada perbedaan antara yang eksak dan sosial membuat cara pandang masing-masing menjadi bias. Bagi hamba, mindset ini membuat kita terjebak pada satu cara dan menafikan cara lain. Padahal, sebagai manusia, tidak ada salahnya dalam mempelajari hal lain nan baru dan berbeda. Anak eksak tidak selamanya gagap dalam seni, pun anak sosial juga tidak terlalu payah dalam memahami ilmu sains. Keduanya hanyalah soal minat ala sistem lama, sedangkan potensi manusia masih bisa diasah selamanya. Semua bisa dipelajari asal mau dan berusaha.

Acara yang berjalan selama 3 hari ini berakhir di Hari Jum’at. Guru, siswa, dan kakak-kakak pendamping yang terlibat terlihat senang. Nampak raut muka penuh percaya diri setelah berhasil meningkatkan diri lewat Festival GAHARU. Lewat mata mereka, terpancar keyakinan bahwa masa depan Indonesia akan cerah. Acara yang diadakan Ashoka Indonesia ini bisa dibilang sukses besar. Hamba percaya, mereka bisa menjadi sosok pembaharu selanjutnya di daerah masing-masing.

Sukoharjo, 2 Mei 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar