“Rabu berangkat ya. Bantu acara yang dulu
kamu ikuti”
Pesan teman hamba lewat telepon. Ada apa
gerangan? Kenapa di sela-sela hamba menganggur, hamba yang papa ini dipanggil
ke jogja? Diminta bantu acara yang pernah diikuti pula. Acara apa ya?
Ternyata, acara itu adalah Festival GAHARU.
Festival yang mengambil nama pohon tersebut merupakan akronim dari Gerakan
Pembaharu. Unik ya? Jelas, wong acaranya juga unik.
Festival GAHARU adalah program milik Ashoka
Indonesia. Program ini termasuk bagian dari ‘Gaharu Muda’. Dengan mengusung
tagline “Everyone A Change Maker”, Festival GAHARU mencoba meningkatkan
potensi anak-anak muda indonesia.
Tahun 2022 yang lalu, hamba pernah
mengikuti acara serupa. Waktu itu namanya Festival GAHARU juga. Tapi ada
embel-embel ‘Mentor Muda’. Pelatihan yang diadakan secara daring tersebut
mengundang seluruh kader muda Muhammadiyah untuk terlibat aktif mendorong perubahan
pendidikan di indonesia. Kami-kami inilah yang nanti akan menjadi mentor cum
fasilitator baik untuk diri kami sendiri dan anak-anak muda indonesia.
Acara yang hamba ikuti tahun 2022 waktu itu
keren meski diadakan secara daring. Tak disangka, versi luringnya lebih keren.
Festival GAHARU tahun 2023 mengambil tempat di Kaliurang Yogyakarta. Ashoka
Indonesia mengundang 24 sekolah muhammadiyah dari seluruh indonesia untuk
berkumpul dan berdiskusi di Kaliurang Yogyakarta.
Hamba di Festival GAHARU berperan sebagai
co-fasilitator. Selama festival berlangsung, hamba menyaksikan antusiasme para
peserta yang terdiri dari guru dan murid dari 24 sekolah muhammadiyah se-indonesia.
Guru dan Murid, lewat peran fasilitator dan co-fasilitator, didorong untuk saling
berdiskusi dan berinteraksi satu sama lain. Sekat antara guru dan murid coba
dilebur agar tidak ada perasaan canggung meski tetap dalam taraf sopan santun.
Selama mengikuti Festival GAHARU, hamba menyadari
bahwa generasinya sudah berbeda. Kalau dibanding dulu, generasi sekarang memang
agak lain. Hamba mendapati beberapa hal.
Murid-murid jaman sekarang cenderung
kritis. Mereka berani untuk mengutarakan pendapat yang ada di kepala mereka. Terkadang,
mereka sering menyatakan ketidaksetujuannya. Semisal, peraturan sekolah yang dianggap
merugikan murid dalam berekspresi. Agar aspirasi dipenuhi, mereka mendorong
pihak sekolah agar membuka dialog agar ditemukan jalan tengah antara keinginan
murid dan pihak sekolah.
Sikap seperti ini baru untukku. Di masa
lalu, orang-orang yang kritis seperti itu dicap “rebel” dan jadi sasaran guru
BK untuk ‘ditertibkan’. Sekarang, orang-orang rebel makin banyak karena mereka senasib
sepenanggungan. Bahkan, mereka pintar untuk bersiasat dengan cara mengajak
sekolah untuk berdialog agar ada jalan tengah. Fenomena yang bagus, pikir
hamba.
Guru-guru jaman sekarang juga lebih
terbuka. Terbuka disini bisa diartikan dalam banyak hal. Tapi pada momen ini, kata
terbuka aku gunakan untuk mewakili sikap mereka dalam menerima gagasan dan perilaku
baru. Semisal, gagasan agar melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar. Guru
mengajak siswa untuk bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang baik. siswa
didorong untuk aktif terlibat dalam proses penyusunan kurikulum agar kelas
berjalan menyenangkan dan mampu mengeluarkan potensi terbaik mereka. Guru juga
lebih bisa menerima perilaku baru dalam penggunaan teknologi misalnya. Anak jaman
sekarang yang termasuk golongan ‘digital native’ haruslah diarahkan dengan
benar. kolaborasi murid, gadget, dan guru ditingkatkan agar penerimaan ilmu
pengetahuan dapat berjalan dari berbagai arah disertai dengan timbal balik yang
bagus. Para guru jaman sekarang percaya bahwa dengan arahan yang baik,
penggunaan teknologi dapat benar-benar bermanfaat untuk proses belajar
mengajar.
Selama festival GAHARU berlangsung, interaksi antara guru dan
murid menjadi titik utama dari pelatihan ini. Guru dan murid didorong untuk
saling bahu membahu dalam mewujudkan ide dan gagasannya. Lewat konsep 5R ala
Ashoka Indonesia, Guru dan Murid mengidentifikasikan potensi masing-masing sekaligus sekolah mereka. Riuh rendah suara guru dan murid yang berinteraksi membuat aku
bergidik takjub. Antuasiasme terpancar dari mata mereka ketika berdiskusi. Nampak
ada yang ngotot dalam menyampaikan ide, ada yang tertawa mencoba bercanda, ada
yang termehek-mehek menceritakan kesulitan mereka dalam bersekolah, semua
campur baur jadi satu demi sekolah yang lebih menyenangkan.
Semua itu menjadi semakin baik ketika para
peserta Festival GAHARU diberi tips mengenai Story Telling. Tips ini diberikan
langsung oleh Kak Amelia Hapsari, sineas asal Semarang yang menjadi Juri Oscars
untuk wilayah Asia Tenggara. Kak Amelia Hapsari memberikan contoh bagaimana
sebuah pengalaman hidup dapat bernilai lebih apabila disampaikan melalui story
telling yang kuat. Renik-renik kehidupan yang kadang dianggap sepele dan
biasa saja bisa menjadi sesuatu yang wow apabila kita pintar mengolahnya. Apalagi,
dengan kekuatan media sosial, orang-orang dapat mudah tersentuh pengalaman yang
kita rasakan karena terasa hidup lewat story telling.
Guru dan siswa yang ada di situ manggut-manggut
mendengar pemaparan dari Kak Amelia Hapsari. Saat sesi tanya jawab, mereka menyampaikan
pertanyaan yang hampir serupa. Sebagian besar dari mereka adalag orang eksak dan
menganggap keterampilan story telling, baik lewat tulisan maupun lisan, hanya
dimiliki mereka yang berasal dari ilmu sosial. Mindset ini ternyata tidak
hilang bahkan sampai sekarang. Bahwa ada perbedaan antara yang eksak dan sosial
membuat cara pandang masing-masing menjadi bias. Bagi hamba, mindset ini
membuat kita terjebak pada satu cara dan menafikan cara lain. Padahal, sebagai
manusia, tidak ada salahnya dalam mempelajari hal lain nan baru dan berbeda. Anak
eksak tidak selamanya gagap dalam seni, pun anak sosial juga tidak terlalu
payah dalam memahami ilmu sains. Keduanya hanyalah soal minat ala sistem lama,
sedangkan potensi manusia masih bisa diasah selamanya. Semua bisa dipelajari
asal mau dan berusaha.
Acara yang berjalan selama 3 hari ini berakhir di Hari Jum’at.
Guru, siswa, dan kakak-kakak pendamping yang terlibat terlihat senang. Nampak
raut muka penuh percaya diri setelah berhasil meningkatkan diri lewat Festival
GAHARU. Lewat mata mereka, terpancar keyakinan bahwa masa depan Indonesia akan
cerah. Acara yang diadakan Ashoka Indonesia ini bisa dibilang sukses besar. Hamba
percaya, mereka bisa menjadi sosok pembaharu selanjutnya di daerah
masing-masing. Sukoharjo, 2 Mei 2023