Rabu, 18 November 2015

Revolusi Karakter Pelajar Indonesia



Bangsa yang kuat ialah bangsa yang memiliki karakter yang kuat pula. Bangsa yang kuat ialah bangsa yang berdiri karena cinta rakyatnya. Karakter pelajar/pemuda haruslah terbentuk dari kecintaannya terhadap negara, sebagaimana layaknya semangat rakyat dari negeri yang baru merdeka. Masalahnya, setelah berpuluh tahun jarak waktu dari saat kemerdekaan itu, bagaimana semangat itu tetap berkobar pada generasi muda ?

          Jawabannya ada pada pendidikan. Pendidikan adalah hal yang sangat penting di masa sekarang. Dengan pendidikan seseorang dapat memperbaiki kehidupannya. Pendidikan itu bakal menuntun manusia kearah kehidupan yang di cita-citakannya dan otomatis kualitas hidupnya juga semakin baik. Seorang manusia yang terdidik pastilah paham bagaimana membedakan perkara yang baik dan buruk.

          Merefleksikan pemikiran salah satu tokoh pemuda saat itu, Moh. Yamin, bahwa Negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan suku serta budaya yang beraneka ragam menjadi modal utama pemersatu bangsa sehingga beliau mengutip “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan bagi negeri baru yang dicita-citakannya, yaitu Indonesia. Kebudayaan serta adat istiadat dari berbagai suku tersebut tentulah memiliki filosofi – filosofi luhur, yang dikenal sebagai kearifan lokal, yakni nilai moral yang sesuai bagi bangsa ini.

          Dasar-dasar Negara yang telah dirumuskan oleh para “founding father” kita telah memberikan pedoman bagi bangsa ini agar setiap langkahnya benar dan dapat mewujudkan cita-cita yang diinginkan, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan, yang bertugas mengemban amanat konstitusi dalam hal “mencerdaskan kehidupan bangsa” telah berupaya dengan keras. Berganti – gantinya kurikulum sebenarnya harus dimaknai sebagai langkah rensponsif mereka di dalam tanggung jawab menciptakan watak/karakter generasi muda sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan kegiatan belajar mengajar. 

          Tujuan serta langkah – langkah pembentukan karakter positif/baik ada di setiap kurikulum, meskipun bisa jadi berbeda dalam penerapan di lapangan. Ada kesamaan aspek yang jadi dasar pedoman dalam dunia pendidikan, yaitu aspek kognitif, aspek psikomotorik, dan aspek afeksi. Ketiga aspek ini menjadi tolok ukur keberhasilan membentuk perilaku dan watak positif para siswa, baik di dalam kegiatan belajar-mengajar ataupun setelah di luar jam sekolah di kehidupan sehari-harinya.

          Penguatan karakter pelajar melalui kearifan lokal bangsa dimasukkan dalam muatan pendidikan / kurikulum. Nilai-nilai luhur bangsa ini diharapkan mulai menjadi bagian dari jati diri anak itu sendiri.

          Dalam hal diskusi misalnya, seorang siswa dituntut agar dia aktif didalam forum kelas ketika gurunya ataupun temannya memberikan pertanyaan atau pernyataan. Siswa pun harus mengerti bahwa dalam diskusi ada kaidah serta tata-tertib yang harus dipatuhi, bagaimana mendengarkan pendapat orang lain serta menjaga lalu-lintas pembicaraan agar tetap dalam topiknya serta tidak bertele-tele. Seorang siswa juga harus berani menyampaikan pendapatnya di khalayak umum tanpa harus merasa malu atau minder. Siswa mulai dibiasakan agar mereka terbiasa bermusyawarah agar mufakat, dengan pembicaraan yang santun, tepat waktu dan efektif.

          Sekarang perhatikan sikap dan perbuatan para pelajar di masa sekarang? Sangat berbanding terbalik. Yang harusnya tuntunan menjadi tontonan, yang seharusnya tontonan menjadi tuntunan. Di televisi-televisi banyak sekali anak muda yang rela dibayar hanya untuk meramaikan suatu acara yang membosankan dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Banyak pula yang rela jauh-jauh ke studio hanya untuk menonton acara lawak tidak bermutu, mereka menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lucu dan mereka juga tidak tahu mengapa mereka tertawa. Apalagi para pemuda tersebut datang dengan memakai atribut sekolah lengkap dengan jas almamater mereka. Mereka berdalih agar sekolah mereka makin dikenal publik, tapi tetap saja hal tersebut merupakan langkah promosi yang keliru. 

Pemandangan sebaliknya terlihat di forum-forum diskusi. Lihatlah bagaimana para pemuda hanya duduk terdiam dengan tatapan kosong tanpa mengerti satupun maksud pemateri. Amatlah sedikit para peserta yang mengajukan pertanyaan kritis kepada narasumber. Kita tidak menafikan kasus – kasus yang ada di luar sekolah, yang dapat mengindikasikan bahwa Krisis moral di pelajar / generasi muda sudah parah. Lantas bagaimana solusinya?

          Ada baiknya kita mengamalkan kembali makna-makna yang terkandung di dalam pancasila. Seperti sila ke-4yang telah memberikan panduan dalam hidup bermasyarakat. Sekiranya ada masalah bersama, maka hal itu dipecahkan bersama dengan musyawarah untuk menemukan jalan terbaiknya.  Pun sebagai masyarakat yang mengenal agama, maka tindakan – tindakan anggota masyarakat dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, sebagaimana sila 1 Pancasila, juga membuat keadaan di masyarakat menjadi baik

          Mengutip pidato Drs. Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara pada masa orde baru, beliau menyatakan kehidupan Negara itu tergantung pada manusia- manusia yang berusia 20,40, dan 60 tahun. Hubungan ketiga kelompok manusia lintas generasi inilah yang akan menunjukkan kestabilan atau gejolak dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kerukunan dan kerjasama antara ketiga kelompok umur ini harus terlaksana dengan baik agar tercipta integritas nasional dan mampu memperkuat karakter kita sehingga menimbulkan rasa nasionalisme yang tinggi dan memupuk toleransi antar sesama kita.

Senin, 16 November 2015

Yang Saya Lakukan Jika Aku Menjadi Anggota DPR




Menjadi seorang anggota DPR merupakan suatu kehormatan bagiku. Betapa tidak, seorang rakyat biasa mampu menjadi seorang anggota dewan dan bekerja di Graha Nusantara. Tidak pernah terpikir sebelumnya olehku bahwa aku bisa menjadi “wakil rakyat. Prestise yang didapat dari menjadi anggota DPR membuat kedudukan kita berbeda di mata masyarakat. 

Menjadi anggota dewan bukanlah suatu perkara yang mudah. Terkadang kita, manusia, sering terlena dari kewajiban kita. Terkadang keadaan serba berkecukupan membuat kita lupa untuk melihat ke bawah. Beban tugas yang banyak malah menjadi alasan untuk menuntut hak lebih. Hingga  muncul pertanyaan, anggota DPR itu sebetulnya mewakili siapa: Rakyat atau Partai Politik-nya? 

Menghapus stigma, “anggota dewan merupakan keterwakilan kaum borjuis” memang sedikit sulit, salah bertindak, beribu intrik akan cepat menyebar. Segala hal yang berkaitan dengan anggota DPR selalu disorot. Dengan masa jabatan yang hanya 5 tahun, anggota DPR dituntut untuk efektif dalam pengambilan keputusan mengingat begitu bayaknya RUU yang harus segera diselesaikan dan ekstra hati-hati karena setiap kebijakan yang mereka ambil menyangkut kesejahteraan rakyat dan masa depan negeri ini.

Mencermati kualitas anggota DPR saat ini yang terlihat tidak benar-benar memahami persoalan bangsa, saya ingin, jikalau sekiranya saya jadi bagian dari mereka, saya akan melakukan pembenahan di berbagai  hal, utamanya hal – hal berikut:
  • Mengerti dan memahami betul masalah kenegaraan. 
Betul, masalah kenegaraan. Hal ini menjadi poin utama yang akan saya coba ubah jika saya menjadi anggota DPR. Mengapa saya ingin mengubah hal ini? Karena saya merasa seseorang, siapapun itu, ketika mencalonkan diri menjadi anggota legislatif mereka sebenarnya tidak tahu untuk apa dan mengapa mereka jadi anggota legislatif. Kebanyakan orang menganggap DPR merupakan “mesin penghasil uang” yang paling menguntungkan, karena memang setiap proyek pasti harus melewati meja DPR. Anggota dewan harus bisa memperjuangkan tercapainya kesejahteraan rakyat melalui perannya sebagai lembaga negara di legislatif tanpa harus mengorbankan moral demi urusan perut diri sendiri.

Inilah mengapa hal ini menjadi fokus utama perubahan yang akan saya mulai agar para anggota legislatif memfokuskan diri untuk selalu berfikir dan berfikir mengenai apa dan bagaimana masalah Negara dan bagaimana mencari pemecahannya. Para anggota DPR harus tahu seluk beluk Negara, masalah apa yang dihadapi dan kondisi terkini yang sedang dihadapi masyarakat, utamanya menyangkut masalah kesejahteraan.
  • Paham arti demokrasi sesungguhnya.
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jargon ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kalimat sederhana yang sarat makna yang dicetuskan oleh Abraham Lincoln ini memang cocok dijadikan pedoman bagi anggota dewan kenapa mereka disebut wakil rakyat. Dari rakyat dan untuk rakyat bukanlah slogan semata.
Setiap orang dengan bebas dan merdeka penuh menentukan sikapnya, dalam hal ini memilih kepala daerah atau apa saja. Itulah esensi demokrasi. Dunia menyebutnya "one man one vote" (satu orang satu suara).
  • Sedikit Bicara Banyak Bekerja.
“Satu tindakan nyata lebih bermanfaat dari seribu retorika”. Kata – kata yang disampaikan oleh lisan dapat menggambarkan isi kepala pembicaranya. Akan tetapi, jika terlalu banyak berbicara, kita malah terlihat tidak ada apa-apanya ketika disuruh untuk melakukan aksi nyata. Hal seperti inilah yang harus kita hindari. Pembahasan panjang yang bertele-tele akan menghabiskan waktu. Dengan beraksi nyata, hal ini akan memperbaiki citra kita (baca ‘DPR’) di masyarakat  bahwa kita juga bisa berbuat lebih dari sekedar berbicara. Usahanya yang maksimal, hasilnya biar rakyat yang menilai. Mengutip kata – kata negarawan yang saat ini Wakil Presiden RI, yakni Bapak Jusuf Kalla amat tepat untuk ini:“Saya tidak melanggar peraturan, saya mengubah aturan. Saya memadukan 2 hal, mencapai hasil namun tertib asa”
  • Menjadi teladan
Menjadi berbeda dari orang kebanyakan memang menarik. Kita mencoba mengambil jalan yang tidak umum demi tercapainya suatu impian yang sudah kita tetapkan. Orang sering mencemooh kita dan menganggap kita ‘orang aneh’ karena mengambil jalan yang berbeda dari mereka. 

Ada baiknya bila kita mampu bertindak ‘Lead by Example’ alias memimpin dengan menjadi contoh. Dengan menjadi teladan, kita menempatkan diri kita menjadi salah satu sosok panutan yang patut dikagumi.
  •  ‘Memanusiakan manusia’ 
Politik saat ini berbeda dari politik yang terjadi pada saat sebelum reformasi. esensi humanisme di dalam proses politik itu sendiri telah berubah. Artinya, esensi politik kini tak lagi berpijak pada deon (keharusan moral), melainkan hanya berpijak pada telos (tujuan yang hendak dicapai). Sehingga, orientasi politik akhirnya hanya berfokus pada strategi dan cara meraih kekuasaan. Hal ini tidak akan saya lakukan. Saya berprinsip bahwa proses dan tujuan -dalam berpolitik- berharuslah sama–sama dilakukan dalam (ke)baik(an). 

‘Memanusiakan manusia’ dalam arti bahwa sesama rakyat Indonesia, baik anggota DPR ataupun bukan, diperlakukan dengan santun dan senasib. Oleh karenanya, saya sebagai anggota DPR akan peka terhadap kondisi atau keadaan rakyat terkini, sehingga tindakan yang diambil tidak menyakiti hati mereka, semisal menunda kunjungan kerja ke luar negeri di saat banyak daerah - daerah yang terkena musibah kabut asap dan kekeringan, dan menggantinya dengan “program turun ke bawah” ke daerah tersebut untuk
 
Menyuarakan aspirasi masyarakat pun akan saya lakukan tuntas, tidak terhalang masalah gender. Sudah kodrat bahwa lelaki dan perempuan berbeda dalam peran domestik masing-masing, namun tidak berbeda dalam hak sebagai warga Negara, hal ini saya pahami betul.

Saya mencoba mengajak kepada para anggota dewan agar merapatkan barisan dan melangkah bersama dengan tetap menghargai perbedaan di antara kita dan menghormati prinsip hidup yang ada di setiap individu demi terciptanya negeri Indonesia yang makmur sejahtera. Saya ingin ada perubahan pada lembaga legislatif ini dan memurnikan kembali perannya sebagai wakil rakyat.