Bangsa yang kuat ialah bangsa yang memiliki karakter yang
kuat pula. Bangsa yang kuat ialah bangsa yang berdiri karena cinta rakyatnya.
Karakter pelajar/pemuda haruslah terbentuk dari kecintaannya terhadap negara,
sebagaimana layaknya semangat rakyat dari negeri yang baru merdeka. Masalahnya,
setelah berpuluh tahun jarak waktu dari saat kemerdekaan itu, bagaimana
semangat itu tetap berkobar pada generasi muda ?
Jawabannya ada pada pendidikan. Pendidikan adalah hal yang sangat penting di masa sekarang. Dengan pendidikan seseorang dapat memperbaiki kehidupannya. Pendidikan itu bakal menuntun manusia kearah kehidupan yang di cita-citakannya dan otomatis kualitas hidupnya juga semakin baik. Seorang manusia yang terdidik pastilah paham bagaimana membedakan perkara yang baik dan buruk.
Merefleksikan pemikiran salah satu tokoh pemuda saat itu, Moh. Yamin, bahwa Negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan suku serta budaya yang beraneka ragam menjadi modal utama pemersatu bangsa sehingga beliau mengutip “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan bagi negeri baru yang dicita-citakannya, yaitu Indonesia. Kebudayaan serta adat istiadat dari berbagai suku tersebut tentulah memiliki filosofi – filosofi luhur, yang dikenal sebagai kearifan lokal, yakni nilai moral yang sesuai bagi bangsa ini.
Dasar-dasar Negara yang telah dirumuskan oleh para “founding father” kita telah memberikan pedoman bagi bangsa ini agar setiap langkahnya benar dan dapat mewujudkan cita-cita yang diinginkan, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan, yang bertugas mengemban amanat konstitusi dalam hal “mencerdaskan kehidupan bangsa” telah berupaya dengan keras. Berganti – gantinya kurikulum sebenarnya harus dimaknai sebagai langkah rensponsif mereka di dalam tanggung jawab menciptakan watak/karakter generasi muda sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan kegiatan belajar mengajar.
Tujuan serta langkah – langkah pembentukan karakter positif/baik ada di setiap kurikulum, meskipun bisa jadi berbeda dalam penerapan di lapangan. Ada kesamaan aspek yang jadi dasar pedoman dalam dunia pendidikan, yaitu aspek kognitif, aspek psikomotorik, dan aspek afeksi. Ketiga aspek ini menjadi tolok ukur keberhasilan membentuk perilaku dan watak positif para siswa, baik di dalam kegiatan belajar-mengajar ataupun setelah di luar jam sekolah di kehidupan sehari-harinya.
Penguatan karakter pelajar melalui kearifan lokal bangsa dimasukkan dalam muatan pendidikan / kurikulum. Nilai-nilai luhur bangsa ini diharapkan mulai menjadi bagian dari jati diri anak itu sendiri.
Dalam hal diskusi misalnya, seorang siswa dituntut agar dia aktif didalam forum kelas ketika gurunya ataupun temannya memberikan pertanyaan atau pernyataan. Siswa pun harus mengerti bahwa dalam diskusi ada kaidah serta tata-tertib yang harus dipatuhi, bagaimana mendengarkan pendapat orang lain serta menjaga lalu-lintas pembicaraan agar tetap dalam topiknya serta tidak bertele-tele. Seorang siswa juga harus berani menyampaikan pendapatnya di khalayak umum tanpa harus merasa malu atau minder. Siswa mulai dibiasakan agar mereka terbiasa bermusyawarah agar mufakat, dengan pembicaraan yang santun, tepat waktu dan efektif.
Sekarang perhatikan sikap dan perbuatan para pelajar di masa sekarang? Sangat berbanding terbalik. Yang harusnya tuntunan menjadi tontonan, yang seharusnya tontonan menjadi tuntunan. Di televisi-televisi banyak sekali anak muda yang rela dibayar hanya untuk meramaikan suatu acara yang membosankan dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Banyak pula yang rela jauh-jauh ke studio hanya untuk menonton acara lawak tidak bermutu, mereka menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lucu dan mereka juga tidak tahu mengapa mereka tertawa. Apalagi para pemuda tersebut datang dengan memakai atribut sekolah lengkap dengan jas almamater mereka. Mereka berdalih agar sekolah mereka makin dikenal publik, tapi tetap saja hal tersebut merupakan langkah promosi yang keliru.
Pemandangan sebaliknya terlihat di forum-forum diskusi. Lihatlah bagaimana para pemuda hanya duduk terdiam dengan tatapan kosong tanpa mengerti satupun maksud pemateri. Amatlah sedikit para peserta yang mengajukan pertanyaan kritis kepada narasumber. Kita tidak menafikan kasus – kasus yang ada di luar sekolah, yang dapat mengindikasikan bahwa Krisis moral di pelajar / generasi muda sudah parah. Lantas bagaimana solusinya?
Ada baiknya kita mengamalkan kembali makna-makna yang terkandung di dalam pancasila. Seperti sila ke-4yang telah memberikan panduan dalam hidup bermasyarakat. Sekiranya ada masalah bersama, maka hal itu dipecahkan bersama dengan musyawarah untuk menemukan jalan terbaiknya. Pun sebagai masyarakat yang mengenal agama, maka tindakan – tindakan anggota masyarakat dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, sebagaimana sila 1 Pancasila, juga membuat keadaan di masyarakat menjadi baik
Mengutip pidato Drs. Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara pada masa orde baru, beliau menyatakan kehidupan Negara itu tergantung pada manusia- manusia yang berusia 20,40, dan 60 tahun. Hubungan ketiga kelompok manusia lintas generasi inilah yang akan menunjukkan kestabilan atau gejolak dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kerukunan dan kerjasama antara ketiga kelompok umur ini harus terlaksana dengan baik agar tercipta integritas nasional dan mampu memperkuat karakter kita sehingga menimbulkan rasa nasionalisme yang tinggi dan memupuk toleransi antar sesama kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar