‘’esok sabtu ikut bapak, tengok batu nisan
yang tumbuh seperti pohon,” ucap pak ating kepadaku. Aku terdiam. Sebuah
pengakuan yang sangat mengejutkan disela-sela pakatan[1] warga
kumba meluncur dari mulut salah satu orang yang tahu
persis dimana letak makam itu.
Disela-sela pakatan warga kumba, aku,
pak ating, dan abang karim memang terlibat obrolan serius. Kami bertiga
membicarakan sejarah nusantara, khususnya kesultanan sambas. Awal mula
berdirinya, keterkaitan antara kesultanan sambas dengan kerajaan lain, hingga
siapa saja keturunannya kami bicarakan didalam tarub[2]
yang terpasang di depan rumah empunya acara pernikahan.
Dari obrolan terbitlah celetukan, dari
celetukan terucapkanlah janji. Aku dan pak ating sepakat untuk pergi ke tempat
dimana makam itu berada. Hari sabtu dipilih sebagai hari ditunaikannya janji.
Hari yang ditunggu tiba. Kami berdua pergi ke
Hutan Sentagau[3],
tempat dimana makam tersebut berada. Motor roda dua kami pilih untuk
mengantarkan kami ke lokasi sebab bangkung[4]
tidak memungkinkan untuk digunakan disaat air sungai kering seperti musim
sekarang.
Perjalanan ke Hutan Sentagau memakan waktu 30
menit. Jalan yang dilalui motor kami sangat buruk. Medan jalan berbukit-bukit.
Perjalanan juga terasa berat sebab tanah lempung dan bebatuan yang menghadang
laju roda. Becek di kanan kiri menyebabkan kami terjerembab beberapa kali.
Kami tiba di lokasi. Makam tersebut terletak
di sebuah bukit. Bukit tersebut dikelilingi oleh hutan sawit milik sebuah
perusahaan transnasional. Menariknya, bukit tempat makam tersebut berada
ditemukan berdasarkan pohon durian yang menjulang gagah diantara rimbunnya
pepohonan di bukit tersebut. Bagi
pak ating, keberadaan pohon tersebut penting sebab banyak perbukitan yang ada
di lokasi tersebut. Pohon durian menjadi pembedanya.
Untuk menuju ke makam, lebatnya semak dan ranting pohon yang menjuntai harus kami terjang. Ketiadaan parang menyulitkan langkah kami menuju kedalam. Berhati-hatilah terhadap akar pohon, salah-salah dia juga bisa mencelakakan kakimu.
Untuk menuju ke makam, lebatnya semak dan ranting pohon yang menjuntai harus kami terjang. Ketiadaan parang menyulitkan langkah kami menuju kedalam. Berhati-hatilah terhadap akar pohon, salah-salah dia juga bisa mencelakakan kakimu.
Pencarian 10 menit tersebut menemui titik temu. Sebuah nisan berbatu ditemukan diantara dua pohon. Nisan lain juga ditemukan, tertimbun batang pohon yang entah bagaimana batangnya tumbuh tepat di tengah-tengah kuburan.
“Disini seharusnya ada empat makam, cukup
sulit mencari yang lain apalagi kondisi (lebat) seperti ini,” aku pak ating.
Kami kemudian mencari dua makam lain yang konon katanya berdekatan dengan
lokasi dua makam yang kami temukan sebelumnya. Lama kami berputar-putar,
ketemulah jua apa yang kami cari.
Dua makam lainnya berjarak sepelemparan batu
dari makam pertama. Mereka terlindung semak-semak. Posisi kedua kubur membujur
ke arah yang sama.
Yang membedakan antara makam yang pertama
ditemukan dengan makam kedua adalah bentuk nisannya. Pada makam pertama, bentuk
batu nisannya berbentuk setengah tabung. Cekung di depan dan rata di belakang.
Sedangkan untuk makam kedua bentuk nisannya lonjong. Nisan lonjong tersebut
meruncing ke atas. Itulah kenapa pak ating menyebut nisannya tumbuh seperti
pohon, sebab bentuknya memang seperti akan tumbuh.
Sayangnya, tidak ada keterangan siapa yang
terkubur didalamnya. Batu nisan yang berdiri pun bungkam. Tidak ada tulisan
yang terukir di permukaannya. Prasasti pun sulit kami cari sebab ranting dan
semak yang menghalangi.
Menurut pak ating, mereka yang bersemayam di
tanah ini masih satu keluarga dengan kesultanan sambas. Sebab mereka bisa
sampai ke hutan sentagau adalah jepang. Pada masa itu,
orang-orang jepang ingin membantai
habis seluruh keluarga kerajaan
sambas. Keluarga istana pun cepat-cepat mengungsikan dirinya ke dalam hutan.
Mereka bertahan di dalam hutan. Sebuah bangunan layak huni dibangun. Barang-barang kerajaan yang
penting disimpannya disana. Sebuah perkebunan dibuka di tanah itu demi memberi
hidup perut yang tinggal. Sapi-sapi yang dibawa dari sambas pun diternakkan
pula disana. Mereka di dalam
hutan hingga jepang angkat kaki dari tanah sambas.
Setelah jepang angkat kaki, mereka kembali ke istana.
Barang-barang kerajaan dikembalikan ke istana. Pejabat-pejabat istana yang ikut
lari dipulihkan jabatannya. Sapi-sapinya? Mereka ditinggal
di dalam hutan. Konon katanya, sapi yang pernah diternakkan dan sengaja dilepas
setelah keadaan aman, kini menjadi sapi hutan. Mereka dilepasliarkan di dalam
hutan.
Begitulah. Makam kuno tersebut tetap penuh
misteri. Siapa yang terbaring didalamnya tidak diketahui rimbanya. Hutan sentagau tetap menjaga makam kuno itu dengan segala daya
upayanya. Menjadikan
keping masa lalu kesultanan sambas tetap pada tempatnya.
***
[1] Pakatan: musyawarah dalam masyarakat melayu Sambas sebelum mengadakan pesta pernikahan. Biasanya membahas teknis acara beserta kelengkapannya.
[2] Tarub: tenda pernikahan. Biasanya terbuat dari kayu dan ditutup terpal plastik.
[3] Hutan Sentangau: salah satu hutan ditepi aliran Sungai Sentagau yang berada di Dusun Sindang Kasih, Desa Kumba, Kecamatan Jagoi Babang, Kalimantan Barat.
[4] Bangkung: Perahu berukuran besar dengan ujung depan berbentuk runcing. Digerakkan oleh mesin motor di bagian belakang.