Magelang menjadi sumber
tulisan ini bermula. Wilayah yang dibedakan secara administratif menjadi kota
dan kabupaten ini terletak di Provinsi Jawa Tengah. Merapi menapakkan kakinya
di kabupaten magelang dan disanalah cerita akan berlanjut.
Kami tiba di rumah Bu Projo
dengan perut terisi nasi ayam khas warung padang. Hidangan berbuka puasa
tersebut menambah semangat kami bersebelas saat mendengar arahan singkat dari
bu projo dan kawan-kawan coordinator dari KLM.
Pada kesempatan ini,
sebelas orang akan disebar ke empat titik pos yang sudah ditentukan. Jarak
rata-rata tiap pos dari puncak merapi berkisar antara 5-6 kilometer. Tiap pos
akan diisi oleh dua dan tiga mahasiswa UGM. Ronda malam tetap menjadi kewajiban
kami seperti kemarin.
Kali ini, saya selain bersama mas hendra, juga
ditemani Mba Tami untuk melewati malam yang panjang. Ditemani pak singo, kami
menuju ke Dusun Sumber. Dusun Sumber terletak enam kilometer dari puncak
merapi.
Saat pertama tiba, kami
disambut enam belas laki-laki. Anak-anak muda dan para senior berkumpul di
sekitar pos jaga. Sebuah gubuk berukuran 3x3 berdiri jumawa berselimut kain
putih bersih yang menunjukkan bahwa gubuk tersebut belum lama berdiri. Api
unggun yang dikelilingi tikar tergelar di kanan-kiri. Permainan gaple menjadi
pemandangan biasa karena memang itu satu-satunya permainan yang mengasyikkan di
kala malam.
Hal pertama yang
kulakukan adalah berkeliling. Ya, pos ronda yang akan aku tempati ini memiliki
kondisi lingkungan yang menarik menurutku. Betapa tidak, pos ini terletak di
belakang sekumpulan rumah yang mana rumah tersebut seperti membentuk persegi
panjang dengan menyisakan satu halaman kosong yang luas ditengahnya sebagai
jalan. Rumah tersebut saling berhadap-hadapan satu sama lain tanpa ada pagar
ataupun sekat pemisah lainnya. Rumah tersebut juga memanjang ke samping.
Bagian belakang pos
ronda tak kalah indah. Terdapat sawah dan kebun milik warga yang tertanam rapi.
Sawah tersebut berbentuk terasering, seperti sawah di pulau Bali. Aku yakin
saat mentari muncul, wajah desa tersebut di pagi hari akan sangat indah.
Setelah puas
berkeliling, aku mencoba membaur dengan warga yang ikut ronda. Beberapa pemuda
asyik bermain gaple, beberapa sibuk membalas pesan di gawainya. Percakapan
antar pemuda terdengar bernada, mungkin ini logat orang jawa tengah daerah
magelang yang selalu memberi akhiran dengan nafas panjang di setiap kalimatnya.
Obrolan serius mulai terjadi. Bukan, bukan dengan
para pemuda itu, akan tetapi, dengan salah satu orang sepuh yang ada di dusun
itu. Orang yang memulai obrolan serius itu bernama Pak Muhadi.
Obrolan
dimulai dengan menanyakan kondisi dusun selama merapi terbangun. Dusun tersebut
sering terkena abu vulkanik merapi apabila merapi terbatuk. Letusan freatik
akhir mei kemarin menjadi salah satu contoh mengapa dusun ini rentan terkena
dampak bencana dikarenakan dusun ini bakal tertutup abu dengan jumlah yang tak
sedikit. Penduduk yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani di dusun
ini juga akan mengalami gagal panen apabila tanamannya tertutup hujan abu
tebal.
Dusun sumber ternyata sudah sejak dulu menjadi
sasaran empuk merapi untuk disakiti. Letusan merapi pada tahun 1930 menjadi
salah satu buktinya. Kala itu, teknologi belum secanggih abad ke 21, desa itu
belum mengenal listrik sehingga saat malam menjelang, masyarakat hanya bermodal
sentir atau lampu teplok. Syukur-syukur
jika ada cahaya rembulan, terang dusun itu. Sayangnya, Merapi meletus saat
malam menjelang tanpa purnama. Warga tidak sempat menyadarinya karena merapi
saat itu membunuh warga dusun dengan cara yang halus.
Merapi mengeluarkan gas beracun. Gas itu keluar
bersamaan dengan awan panas yang keluar dari mulut merapi. Gas itu berlari
lebih cepat dari awan panas sehingga ketika warga sadar merapi melalui awan
panasnya sedang mencoba untuk membunuh warga, mereka lebih dulu mati oleh gas
beracun. Awan panas kemudian datang membereskan semuanya. Merapi meletus
sejadi-jadinya.
Konon,
letusan pada tahun itu merupakan yang terparah. Setidaknya lebih dari 1000 warga
meninggal dunia. Desa-desa yang berada dekat dengan puncak merapi juga dilahap awan panas. Yogyakarta diselimuti
abu tebal selama berhari-hari.
Menariknya, menurut penuturan Mbah Muhadi dari pengakuan
simbah-simbah buyutnya dahulu,
Kondisi dusun tersebut ketika ditemukan pasca merapi meletus masih sama seperti
kondisi awal. Posisi warga tidak berubah, masih seperti kegiatan sebelum awan
panas mendekati mereka. Sayangnya, mereka sudah tak bernyawa. Bahkan, saat korban
disentuh, tubuhnya akan melebur seperti abu.
Dari
kejadian tersebut, penduduk sekitar lebih waspada terhadap lingkungan sekitar.
Mereka menggunakan ilmu titen dan
ilmu tenger untuk mengantisipasi
bahaya gunung merapi. Melihat, mendengar, dan merasakan bagaimana kondisi
gunung merapi, sesimpel itulah ilmu titen
dan ilmu tenger. Gejala alam sering
nampak, tapi terkadang tidak disadari. Maka dari itu, orang yang tinggal di
sekitar merapi harus mampu untuk peka dengan alam tempatnya tinggal.
Aku
sebagai pihak yang didongengi merasa takjub. Dusun ini ternyata menyimpan
ceritanya sendiri soal merapi. Mereka yang menjadi sesepuh dusun ini merupakan
pelaku dan saksi sejarah keganasan merapi. Bersyukurlah tuhan mempertemukanku
dengan pak muhadi yang ternyata doyan sekali bercerita panjang lebar, seperti
cerita berikutnya.
Pak
Muhadi berkata bahwa beberapa dusun di wilayah sumber dukun masih sering
menjalankan ritual ala orang jawa. Jika sudah masuk waktunya, mereka akan
menjalankan ritual sesuai jatuh hari dalam penanggalan jawa. Beberapa tempat di
sekitar sumber dukun yang dekat dengan puncak merapi pun masih disakralkan oleh
penduduk sekitar.
Dia
juga mengaku sering diminta tolong orang-orang dari bawah –sebutan untuk
penduduk luar lereng merapi- untuk turut “mengantarkan” ke tempat yang
disakralkan tersebut. Mereka ingin bertapa disana, mencari wangsit salah
satunya. Pak Muhadi juga manut-manut saja diminta tolong seperti itu. Dia beralasan
itu merupakan satu-satunya cara dia untuk turut menjaga dan melestarikan
tradisi yang hidup disana.
Berkomunikasi
melalui ritual memang menjadi salah satu cara untuk memahami merapi.
Ritual-ritual tersebut merupakan cara untuk kulanuwun
ke penghuni lain gunung merapi. Manusia harus hidup harmonis dengan alam dan
penghuni lainnya, itu salah satu yang melatar belakangi mengapa penduduk
sekitar sering mengadakan ritual.
Beruntungnya,
penghuni lain itu akan turut serta membantu kehidupan warga lokal. Tanah yang
subur, cuaca yang cerah, hasil alam yang melimpah adalah bukti nyata yang
diakui oleh penduduk merupakan salah satu bantuan dari mereka yang tidak
terlihat. Makhluk itu juga tidak segan untuk memperingatkan penduduk mengenai
merapi. Misalnya, ketika merapi akan meletus, penduduk terpilih akan didatangi
oleh bidadari berwajah jelita dan diberi tahu. Akan tetapi, kondisi sebaliknya
malah dirasakan oleh penduduk yang dirasa benar-benar sakti. Dia akan didatangi
dengan keadaan yang benar-benar tidak bisa dibayangkan, mungkin frasa
mengerikan cocok untuk menggambarkan kondisi fisiknya, tapi kata Pak Muhadi,
tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkannya karena memang begitulah
keadaan yang sebenarnya.
Orang
yang didatangi bidadari cantik dengan yang tidak ternyata memiliki perbedaan.
Kata Pak Muhadi, biasanya mereka yang didatangi makhluk tak rupawan lebih
dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab memperingati penduduk sekitar
mengenai kondisi merapi. Dia juga mengemban amanah menjadi penghubung antara
mereka yang tak terlihat dengan yang terlihat. Maka dari itu, orang yang
didatangi si buruk rupa akan lebih didengar oleh masyarakat dan dipatuhi segala
nasihatnya.
Malam
semakin malam, cerita masih berkutat mengenai pengalaman Pak Muhadi dengan
kisah-kisah mistis selama tinggal di lereng gunung merapi. Aku yang takjub
mendengar kisah-kisahnya kemudian menarik kesimpulan bahwa seseorang melakukan
sebuah ritual bukan tanpa alasan. Ada sebab akibat mengapa hal itu terjadi.
Mungkin ritual dan cerita yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan Pak Muhadi
terkesan tidak masuk akal, tapi memang logika tidak akan berlaku disana.
Bagaimana diri ini bisa peka merupakan kunci untuk memahami itu semua.
Maka
dari itu, wajar, apabila magelang menjadi pakubumi. Apabila orang-orang
ditempat ini tidak lagi menjalankan ritual ataupun enggan untuk menjaga
keharmonisan dengan alam, maka bumi jawa akan geger. Merapi akan mengamuk
sejadi-jadinya.
*** (Al) ***