Merapi selalu nampak
indah setiap pagi. Tubuh setinggi 2930 Mdpl ini terlihat gagah dilihat dari
sisi utara jogja. Mentari yang bersinar cerah dengan awan yang terwarna tipis
seperti saputan kuas menambah elok pemandangan merapi dengan latar langit biru.
Pemandangan seperti itu kerap terlihat bila
cuaca cerah. Siapapun orang jogja yang pergi ke arah utara atau kebetulan
menengok ke arah sana akan menemui pemandangan tersebut. Terlebih aku, yang
setiap hari harus melewati fly over
lempuyangan untuk berangkat ke kampus kerakyatan. Melihatnya setiap pagi dari
atas fly over seperti menjadi caraku
untuk mengagumi keindahan tuhan.
Sayangnya, setiap
keindahan menyimpan bahaya. Keindahan merapi berbanding lurus dengan label
gunung teraktif di dunia. Merapi yang termasuk dalam jajaran gunung paling
berbahaya di dunia ini memiliki siklus tersendiri untuk meletus. Tercatat, pasca
reformasi, gunung ini telah meletus sebanyak 2 kali dengan letusan paling parah
pada tahun 2010. Letusan tersebut merusak banyak infrastruktur dan menghambat
profesi warga lokal.
Mengingat hal tersebut,
berbagai cara dilakukan sebagai antisipasi awal. Berbagai latihan mitigasi
bencana digelar, sosialisasi digencarkan. Harapannya, kegiatan tersebut dapat
menjadi edukasi tambahan. Sayangnya, mereka lupa, warga merapi mandiri karena
bencana itu sendiri.
Saya mendapat
kesempatan untuk membuktikan sendiri pernyataan yang tertulis diatas.
Gelanggang Emergency Respon selaku salah satu unit tanggap bencananya mahasiswa
UGM mengadakan giat merapi selama tiga hari. Giat tersebut dilaksanakan dalam
tiga hari terhitung sejak tanggal sembilan juni. Waktu tiga hari itu akan
dihabiskan untuk menjelajahi 3 kabupaten yang duduki merapi, yaitu kabupaten
sleman, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Boyolali.
Tulisan ini akan
menceritakan perjalanan di hari pertama, tepatnya di Kabupaten Sleman.
Perjalanan pertama menjelajahi Sleman atas diikuti oleh 20 mahasiswa. Berbekal
motor pribadi dan mobil operasional resimen mahasiswa UGM, kami naik menuju
daerah kaliurang pukul 21.00 malam untuk koordinasi terakhir dengan penduduk
lokal.
Delapan pos siap
menampung kami. Pos-pos ini tersebar di berbagai penjuru di sekitar merapi.
Jarak pos ini dengan merapi pun beragam, rata-rata delapan kilometer dari
puncak. Pos ini dijaga oleh warga lokal yang melakukan ronda malam yang mana
ronda malam tersebut digiatkan untuk berjaga-jaga apabila merapi tiba-tiba
meletus.
Kegiatan ini merupakan
inisiatif warga sekitar lereng merapi. Mereka mendirikan pos-pos jaga yang
sederhana. Warga sekitar bahu-mebahu melancarkan ronda malam agar kondisi
perkampungan siap siaga menghadapi bencana.
Aku berkesempatan untuk
ikut membantu warga melaksanakan ronda di Dukuh Ngandong. Dukuh ini berada di
lereng merapi, kurang lebih delapan kilometer dari puncaknya. Ronda malamku
kali ini ditemani oleh mas hendra, pria asli pulau dewata, bersama pemuda
karang taruna dusun ngandong.
Kepala Dukuh turut
serta ikut ronda malam. Bapak kepala dukuh ini mengatakan bahwa ronda malam
sering diadakan beberapa hari belakangan. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi letusan merapi sehingga warga dukuhnya siap untuk turun gunung.
Anggota ronda malam sering tidak tetap karena ini kegiatan sukarela, siapa yang
mau boleh bergabung, kata pak kepala duku yang aku lupa namanya, huhuhu :(
Malam semakin dingin,
tapi kami yang berada di pos jaga pantang pulang. Permainan gaple dan karambol
membuat kami betah duduk disana. Waktu berjalan lambat disaat laju pin karambol
melesat cepat. Canda tawa khas anak muda menambah hangat suasana di sekitar pos
jaga. Logat jawa Yogyakarta mereka kentara sekali setiap mengompori teman yang payah bermain kartu gaple pun karambol.
Singkong bakar menjadi
sahabat yang baik malam itu. Dia berhasil mengganjal perut-perut yang
kelaparan. Satu panci besar berisi kopi panas juga siap sedia tuk mengisi
stamina kami agar kuat sampai pagi. Ransum memang disuplai oleh penduduk
sekitar. Kopi dan gula paling sering, syukur jika ada camilan. Singkong juga
diambil dari kebun warga.
Kami naik ke kaliurang juga membawa
teman jaga. Kopi, gula, mie instan, teh dan 3 bungkus cemilan ringan berkumpul
dalam satu plastic hitam. Makanan ini sengaja kami berikan sebagai ungkapan kulanuwun kami kepada warga sekitar. Dua
bungkus plastic hitam diterima dengan baik oleh warga ketika kami memberikannya
saat menginjakkan kaki pertama kali di pos.
Terkejutnya saya,
ketika plastic-plastik itu dibongkar, mereka membagi-bagi kembali isi plastic
tersebut beberapa bagian untuk dibagikan kembali ke pos-pos jaga yang lain.
Beberapa pemuda kampung aku lihat menghela motornya membelah dinginnya malam
menuju pos-pos yang aku tidak tahu dimana letak pastinya. Disaat seperti ini,
mereka tetap peduli dengan sekitarnya. Solidaritas antar warga terjalin sangat
baik. Tenggang rasa diantara sesame yang menjadi cirri khas orang Indonesia
saya temui kembali di tempat yang sedang diintai bahaya.
Waktu menunjukkan pukul
tiga lewat tiga puluh menit. Mobil operasional resimen mahasiswa UGM yang
mengantar kami naik sudah siap untuk turun ke bawah. Kami berdua pun pamit
undur diri. Di perjalanan pulang, pikiran ini masih mengulang kembali kegiatan
yang baru saja aku alami. Ternyata, keramahan masih tetap terjaga tidak peduli
bagaimanapun kondisinya. Penduduk yang selama ini kami kira harap-harap cemas
diintai sang merapi tetap menunjukkan sikap guyub rukun. Tak terbersit rasa
takut pada raut wajah mereka. Sikap mereka seakaan berkata #kamitidaktakut. Merapi
telah membuat mereka mandiri dan berdikari.
Perjalanan masih
panjang. Masih ada dua kabupaten lagi yang akan kujelajahi. Entah harta karun
apa yang akan ku temui disana. Aku siap belajar dari mahaguru gunung merapi.
*** (Al) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar