Selasa, 03 Juli 2018

Belajar dari Merapi: Sleman yang Ramah.

Merapi selalu nampak indah setiap pagi. Tubuh setinggi 2930 Mdpl ini terlihat gagah dilihat dari sisi utara jogja. Mentari yang bersinar cerah dengan awan yang terwarna tipis seperti saputan kuas menambah elok pemandangan merapi dengan latar langit biru.
Pemandangan seperti itu kerap terlihat bila cuaca cerah. Siapapun orang jogja yang pergi ke arah utara atau kebetulan menengok ke arah sana akan menemui pemandangan tersebut. Terlebih aku, yang setiap hari harus melewati fly over lempuyangan untuk berangkat ke kampus kerakyatan. Melihatnya setiap pagi dari atas fly over seperti menjadi caraku untuk mengagumi keindahan tuhan.
Sayangnya, setiap keindahan menyimpan bahaya. Keindahan merapi berbanding lurus dengan label gunung teraktif di dunia. Merapi yang termasuk dalam jajaran gunung paling berbahaya di dunia ini memiliki siklus tersendiri untuk meletus. Tercatat, pasca reformasi, gunung ini telah meletus sebanyak 2 kali dengan letusan paling parah pada tahun 2010. Letusan tersebut merusak banyak infrastruktur dan menghambat profesi warga lokal.
Mengingat hal tersebut, berbagai cara dilakukan sebagai antisipasi awal. Berbagai latihan mitigasi bencana digelar, sosialisasi digencarkan. Harapannya, kegiatan tersebut dapat menjadi edukasi tambahan. Sayangnya, mereka lupa, warga merapi mandiri karena bencana itu sendiri.
Saya mendapat kesempatan untuk membuktikan sendiri pernyataan yang tertulis diatas. Gelanggang Emergency Respon selaku salah satu unit tanggap bencananya mahasiswa UGM mengadakan giat merapi selama tiga hari. Giat tersebut dilaksanakan dalam tiga hari terhitung sejak tanggal sembilan juni. Waktu tiga hari itu akan dihabiskan untuk menjelajahi 3 kabupaten yang duduki merapi, yaitu kabupaten sleman, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Boyolali.
Tulisan ini akan menceritakan perjalanan di hari pertama, tepatnya di Kabupaten Sleman. Perjalanan pertama menjelajahi Sleman atas diikuti oleh 20 mahasiswa. Berbekal motor pribadi dan mobil operasional resimen mahasiswa UGM, kami naik menuju daerah kaliurang pukul 21.00 malam untuk koordinasi terakhir dengan penduduk lokal.
Delapan pos siap menampung kami. Pos-pos ini tersebar di berbagai penjuru di sekitar merapi. Jarak pos ini dengan merapi pun beragam, rata-rata delapan kilometer dari puncak. Pos ini dijaga oleh warga lokal yang melakukan ronda malam yang mana ronda malam tersebut digiatkan untuk berjaga-jaga apabila merapi tiba-tiba meletus.
Kegiatan ini merupakan inisiatif warga sekitar lereng merapi. Mereka mendirikan pos-pos jaga yang sederhana. Warga sekitar bahu-mebahu melancarkan ronda malam agar kondisi perkampungan siap siaga menghadapi bencana.
Aku berkesempatan untuk ikut membantu warga melaksanakan ronda di Dukuh Ngandong. Dukuh ini berada di lereng merapi, kurang lebih delapan kilometer dari puncaknya. Ronda malamku kali ini ditemani oleh mas hendra, pria asli pulau dewata, bersama pemuda karang taruna dusun ngandong. 
Kepala Dukuh turut serta ikut ronda malam. Bapak kepala dukuh ini mengatakan bahwa ronda malam sering diadakan beberapa hari belakangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi letusan merapi sehingga warga dukuhnya siap untuk turun gunung. Anggota ronda malam sering tidak tetap karena ini kegiatan sukarela, siapa yang mau boleh bergabung, kata pak kepala duku yang aku lupa namanya, huhuhu :( 
Malam semakin dingin, tapi kami yang berada di pos jaga pantang pulang. Permainan gaple dan karambol membuat kami betah duduk disana. Waktu berjalan lambat disaat laju pin karambol melesat cepat. Canda tawa khas anak muda menambah hangat suasana di sekitar pos jaga. Logat jawa Yogyakarta mereka kentara sekali setiap mengompori teman yang payah bermain kartu gaple pun karambol. 
Singkong bakar menjadi sahabat yang baik malam itu. Dia berhasil mengganjal perut-perut yang kelaparan. Satu panci besar berisi kopi panas juga siap sedia tuk mengisi stamina kami agar kuat sampai pagi. Ransum memang disuplai oleh penduduk sekitar. Kopi dan gula paling sering, syukur jika ada camilan. Singkong juga diambil dari kebun warga.
Kami naik ke kaliurang juga membawa teman jaga. Kopi, gula, mie instan, teh dan 3 bungkus cemilan ringan berkumpul dalam satu plastic hitam. Makanan ini sengaja kami berikan sebagai ungkapan kulanuwun kami kepada warga sekitar. Dua bungkus plastic hitam diterima dengan baik oleh warga ketika kami memberikannya saat menginjakkan kaki pertama kali di pos.
Terkejutnya saya, ketika plastic-plastik itu dibongkar, mereka membagi-bagi kembali isi plastic tersebut beberapa bagian untuk dibagikan kembali ke pos-pos jaga yang lain. Beberapa pemuda kampung aku lihat menghela motornya membelah dinginnya malam menuju pos-pos yang aku tidak tahu dimana letak pastinya. Disaat seperti ini, mereka tetap peduli dengan sekitarnya. Solidaritas antar warga terjalin sangat baik. Tenggang rasa diantara sesame yang menjadi cirri khas orang Indonesia saya temui kembali di tempat yang sedang diintai bahaya.
Waktu menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit. Mobil operasional resimen mahasiswa UGM yang mengantar kami naik sudah siap untuk turun ke bawah. Kami berdua pun pamit undur diri. Di perjalanan pulang, pikiran ini masih mengulang kembali kegiatan yang baru saja aku alami. Ternyata, keramahan masih tetap terjaga tidak peduli bagaimanapun kondisinya. Penduduk yang selama ini kami kira harap-harap cemas diintai sang merapi tetap menunjukkan sikap guyub rukun. Tak terbersit rasa takut pada raut wajah mereka. Sikap mereka seakaan berkata #kamitidaktakut. Merapi telah membuat mereka mandiri dan berdikari.
Perjalanan masih panjang. Masih ada dua kabupaten lagi yang akan kujelajahi. Entah harta karun apa yang akan ku temui disana. Aku siap belajar dari mahaguru gunung merapi.
*** (Al) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar