Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Setidaknya begitulah kata Pram. Saya yakin kalimat tersebut diamini oleh banyak orang yang menulis. Toh, orang zaman dahulu juga sudah sepakat bahwa menulis itu berkaitan dengan keabadian. Sebab kata mereka, Verba Volant Scripta Manent. Lisan itu sementara, tapi tulisan abadi.
Bagi saya,
menulis adalah kegiatan yang menyenangkan. Bukan, bukan karena saya senang bakal
mendapatkan keabadian. Menyenangkan sebab dengan menulis diri ini tetap waras karena berhasil
mengeluarkan uneg-uneg dalam diri. Menulis adalah alasan untuk tetap waras di
tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin payah lagi berat.
Sayangnya, di
tengah-tengah kepayahan dunia, diri ini sering kehilangan kemampuan untuk tetap
menulis. Banyak sebabnya.
Malas tentu jadi yang paling besar. Sisanya seperti tidak ada waktu, tidak ada
ide, dan beragam alasan lain yang berkaitan dengan personal dan sekitar.
Bersyukur, Tuhan
lewat perantara teman-teman saya membantu untuk tetap waras lewat
tulisan-tulisan mereka. Dengan sedikit bantuan internet, anugerah Tuhan
tersebut datang dalam wujud blog. Disitulah saya menemukan kembali motivasi
untuk tetap waras dengan membaca tulisan teman-teman saya.
Saya mengagumi
banyak tulisan, tidak peduli bagaimana bentuk dan formatnya. Tapi kalau ditanya
siapa penulis yang mempengaruhi diri ini? Saya akan dengan bangga menyebut
teman-teman terdekat saya, khususnya mereka yang ada di Fakultas Ilmu Budaya
UGM.
Sebagai mahasiswa
sosial humaniora yang terdidik dengan cara pandang ilmu budaya, tulisan-tulisan
kami lebih seperti “masyarakat indonesia”. Maksud saya, ketika, entah siapapun
kamu, membaca tulisan anak-anak FIB, selama dan setelah sampai di kalimat akhir
tulisan tersebut akan muncul decak kagum sembari mengumpat dikit-dikit
-kalau mau- dengan perasaan yang, kalau boleh saya tulis, “bisa gitu ya”.
Cara mereka
menulis tentang masyarakat Indonesia beserta seluruh kondisinya terasa sekali lewat
tulisan itu. Rasa-rasanya tulisan itu hidup dan bergerak persis seperti adegan
sehari-hari. Cara mereka menulis adalah keajaiban alam semesta yang ditunjang
dengan diskusi, dolan, kuliah lapangan, moco buku para orientalist dan
ulama, review jurnal, dan berpesta - tentu saja. Itu alasan pertama.
Alasan kedua
adalah mereka orang-orang yang jujur. Jujur dalam hal ini yakni mereka
orang-orang yang berani menyampaikan sesuatu apa adanya. Yang A dikatakan A pun
yang B dikatakan B. Makanya, pada paragraf kelima saya menyanjung mereka yang
tulisannya sangat “Masyarakat Indonesia” sekali. Penyampaian apa adanya
tersebut juga ditunjang dengan kemampuan memainkan diksi dan menyelipkan humor-humor
segar nan mbuh. Para penulis FIB itu menyadarkan para pembacanya dengan cara
yang menyenangkan. Mantap bukan?
Alasan ketiga dan
terakhir tentu saja karena mereka. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB
yang mbuh. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh dan menyenangkan.
Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh, menyenangkan, menulis pula.
Tentu ini
menjadi bukti bahwa perjumpaan dengan orang-orang baru berarti perjumpaan
dengan cita-cita baru. Bahwa setelah ini dan selanjutnya cita-cita saya adalah
tetap menjadi waras lewat menulis. Sebab lewat menulis kamu abadi karena tulisan
menyembuhkanmu lewat dengan cara yang tidak terduga.
Yogyakarta, 3 Desember 2020
Sholahuddin Al Ayubi