Kamis, 03 Desember 2020

Alasan Kenapa Saya Mencintai Tulisan Teman-Teman Saya

Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Setidaknya begitulah kata Pram. Saya yakin kalimat tersebut diamini oleh banyak orang yang menulis. Toh, orang zaman dahulu juga sudah sepakat bahwa menulis itu berkaitan dengan keabadian. Sebab kata mereka, Verba Volant Scripta Manent. Lisan itu sementara, tapi tulisan abadi.

Bagi saya, menulis adalah kegiatan yang menyenangkan. Bukan, bukan karena saya senang bakal mendapatkan keabadian. Menyenangkan sebab dengan menulis diri ini tetap waras karena berhasil mengeluarkan uneg-uneg dalam diri. Menulis adalah alasan untuk tetap waras di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin payah lagi berat.

Sayangnya, di tengah-tengah kepayahan dunia, diri ini sering kehilangan kemampuan untuk tetap menulis. Banyak sebabnya. Malas tentu jadi yang paling besar. Sisanya seperti tidak ada waktu, tidak ada ide, dan beragam alasan lain yang berkaitan dengan personal dan sekitar.

Bersyukur, Tuhan lewat perantara teman-teman saya membantu untuk tetap waras lewat tulisan-tulisan mereka. Dengan sedikit bantuan internet, anugerah Tuhan tersebut datang dalam wujud blog. Disitulah saya menemukan kembali motivasi untuk tetap waras dengan membaca tulisan teman-teman saya.

Saya mengagumi banyak tulisan, tidak peduli bagaimana bentuk dan formatnya. Tapi kalau ditanya siapa penulis yang mempengaruhi diri ini? Saya akan dengan bangga menyebut teman-teman terdekat saya, khususnya mereka yang ada di Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Sebagai mahasiswa sosial humaniora yang terdidik dengan cara pandang ilmu budaya, tulisan-tulisan kami lebih seperti “masyarakat indonesia”. Maksud saya, ketika, entah siapapun kamu, membaca tulisan anak-anak FIB, selama dan setelah sampai di kalimat akhir tulisan tersebut akan muncul decak kagum sembari mengumpat dikit-dikit -kalau mau- dengan perasaan yang, kalau boleh saya tulis, “bisa gitu ya”.

Cara mereka menulis tentang masyarakat Indonesia beserta seluruh kondisinya terasa sekali lewat tulisan itu. Rasa-rasanya tulisan itu hidup dan bergerak persis seperti adegan sehari-hari. Cara mereka menulis adalah keajaiban alam semesta yang ditunjang dengan diskusi, dolan, kuliah lapangan, moco buku para orientalist dan ulama, review jurnal, dan berpesta - tentu saja. Itu alasan pertama.

Alasan kedua adalah mereka orang-orang yang jujur. Jujur dalam hal ini yakni mereka orang-orang yang berani menyampaikan sesuatu apa adanya. Yang A dikatakan A pun yang B dikatakan B. Makanya, pada paragraf kelima saya menyanjung mereka yang tulisannya sangat “Masyarakat Indonesia” sekali. Penyampaian apa adanya tersebut juga ditunjang dengan kemampuan memainkan diksi dan menyelipkan humor-humor segar nan mbuh. Para penulis FIB itu menyadarkan para pembacanya dengan cara yang menyenangkan. Mantap bukan?

Alasan ketiga dan terakhir tentu saja karena mereka. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh dan menyenangkan. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh, menyenangkan, menulis pula.

Tentu ini menjadi bukti bahwa perjumpaan dengan orang-orang baru berarti perjumpaan dengan cita-cita baru. Bahwa setelah ini dan selanjutnya cita-cita saya adalah tetap menjadi waras lewat menulis. Sebab lewat menulis kamu abadi karena tulisan menyembuhkanmu lewat dengan cara yang tidak terduga.

 

Yogyakarta, 3 Desember 2020

Sholahuddin Al Ayubi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar