Sebagai pemuda yang hidup di era digital, kebutuhan
untuk nonton menjadi kewajiban yang sifatnya Wajib Ain’. Kesehariannya yang terpapar gawai dengan segala hiruk
pikuknya di linimasa membuatnya harus selalu up to date mengenai informasi terkini, terutama soal film yang akan
tayang. Menjadi hal yang wajar jika kemudian diri ini menganggap menonton film
di bioskop menjadi kewajiban bagi anak muda generasi millennial.
Sebagai generasi millenial yang terpapar gawai,
sering ketika diri ini sibuk menaik-turunkan linimasa melihat banyak unggahan
berbau Dilan. Mulai dari foto hingga video, semua serba Dilan. Quote-nya yang baperin menjadi komoditi
bagus untuk menarik minat para warganet di linimasa untuk sekadar berbagi
jempol atau mengetuk layar dua kali agar muncul gambar hati.
Dilan dipasarkan secara massif di internet.
Ceritanya yang menye-menye berhasil menarik minat anak muda jauh sebelum film
itu resmi tayang. Trailernya yang "romantis" berhasil membuat kawula muda baper
massal. Bagaimana cara Dilan memperlakukan perempuan sampai berhasil membuat si
gadis klepek-klepek benar-benar membuat penasaran para jomblo yang gebet mulu
jadi kagak.
Pada saat itu, awal tahun 2018, memang sedang
tenar-tenarnya film “Dilan”. Film ini diangkat dari novel karya Pidi Baiq dan
memang akan tayang pada awal tahun 2018, tepatnya di bulan Januari. Novel yang
mengambil kisah cinta remaja anak SMA di tahun 1990 membuatnya digilai anak
muda. Gaya penceritaannya yang ringan dan khas anak muda membuatnya mudah
dicintai para pembacanya. Maka, wajar ketika animo masyarakat yang ingin
menonton pun sangat tinggi. Beberapa perusahaan pun memberi voucher nonton gratis sekaligus meet n greet dengan pemerannya sebagai
usaha pemasaran agar film tersebut semakin banyak peminatnya. Film tersebut benar-benar
booming.
Saya
adalah salah satu anak muda yang terkena efek pemasaran Dilan. Kemarin,
tepatnya tanggal 31 Januari yang lalu, diri ini melunasi janji yang
diucapkannya di akhir tahun untuk nonton. Ya, laki-laki ini sudah berjanji
dengan temannya untuk nonton di bioskop, berdua saja. Untuk urusan film,
agaknya Dilan patut dipertimbangkan untuk ditonton di bioskop secara langsung,
mumpung, momennya pas.
Kami
berdua akhirnya pergi ke salah satu bioskop ternama di Yogyakarta. Berada di
bilangan Klitren, Gondokusuman, kami berdua pun nekat menerobos derasnya hujan
di malam hari demi janji yang terucap. Berbekal mantol, kami tiba di lokasi saat film yang
akan kami tonton akan tayang 60 menit lagi. Maka, mau tidak mau kami harus
menunggu.
Sembari
menunggu, diri ini mencoba mengingat kembali apa yang sudah pernah dibaca dalam
buku karya Pidi Baiq. Novel karya Pidi Baiq itu ada tiga,
satu berdasar sudut pandang Dilan tentang Milea, dua lagi berdasar sudut
pandang mengenai Dilan menurut Milea. Film yang akan saya tonton ini mengambil
karya Ayah Pidi yang pertama, yaitu Dia adalah Dilanku tahun 1990.
Buku
edisi pertama dan yang akan saya tonton kali ini merupakan buku pertama yang
menceritakan mengenai awal kisah asmara antara Dilan dan Milea. Berlatar waktu
tahun 1990, Ayah Pidi mengajak pembacanya untuk turut kembali mengalami
masa-masa cinta monyet khas anak SMA. Gambaran Dilan yang pecicilan lagi
romantis begitu lekat di benak pembaca saat berkenalan langsung mengenai sosok Dilan
melalui penuturan Milea.
Gambaran
ini sesuai dengan apa yang divisualisasikan dalam scene pertama film. Sosok Dilan yang pecicilan ditampilkan dalam
tampilan saat dia memimpin teman-teman gengnya konvoi di jalan raya. Sambil
menggeber motor CB miliknya, dia dan teman-temannya mengacungkan tongkat
beserta perlengkapan tempur lainnya tuk mulai melaksanakan peperangan, atau
dalam hal ini aku lebih suka menyebutnya unjuk kekuatan kepada geng sebelah.
Gombalan
Dilan juga ditampilkan lengkap pada film ini. Kata-kata “Rindu itu berat, kamu
ga akan kuat, biar aku saja.” merupakan salah satu gombalan yang dinantikan
pemirsa. Wajar, karena kata-kata tersebut muncul pertama pada trailer film Dilan.
Reaksi penonton ketika melihat kembali kata-kata itu diucapkan pada satu scene utuh ternyata tetap tidak mampu
membuat reaksi penonton untuk tetap B aja.
Penonton tetap terpukau dengan akting Iqbal Ramadhan dalam meluncurkan
gombalannya, terutama bagian rindu itu berat. Sungguh, saya yakin, 80 persen
penonton yang datang ke bioskop hari itu memiliki tujuan utama untuk mengetahui
secara pasti scene ketika kata-kata
rindu itu berat diucapkan.
Film
ini memiliki durasi 110 menit. Teman nonton saya beberapa kali memejamkan mata
karena tak kuat melihat adegan gombalannya menahan terpaan angin bioskop
yang mengundang kantuk. Saya, sebagai penonton yang tuntas membaca bukunya
dengan umpatan di setiap bab nya karena geli dengan betapa menyenya kisah
mereka berdua, sebenarnya menaruh ekspektasi tinggi bahwa film ini akan mirip
dengan apa yang ada di dalam buku.
Nyatanya,
ada beberapa adegan di film yang menurutku tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam
buku. Bagian ketika bertemu Kang Adi misalnya. Pada scene tersebut, sosok Kang Adi hanya digambarkan sebagai laki-laki
berotak encer yang hanya bisa terdiam membisu ketika tahu calon gebetannya
ternyata sudah dimiliki oleh sosok keren lainnya. Di setiap kemunculannya, dia hanya
bisa terdiam membisu, bicara pun sekenanya. Padahal, di buku, sosok Kang Adi
digambarkan sebagai lelaki yang tetap berjuang sebelum janur kuning melengkung.
Dia berusaha mendapatkan perhatian Milea bagaimanapun caranya. Termasuk
bagaimana Kang Adi menunjukkan rasa cemburu dan ketidaksukaan terhadap sosok
Dilan secara langsung tanpa tendeng aling-aling.
Bagian
ketika Milea ditampar Anhar juga terkesan dipaksakan. Milea, yang sejak awal
memang tidak bisa pisah dari Dilan, mencari keberadaan Dilan di warung Bi ‘Eem.
Nahas, selain disana tidak menemukan Dilan, dia digoda oleh Anhar yang notabene
orang kedua di geng motor pimpinan Dilan. Anhar merayu Milea hingga jengkel
sehingga mendapat makian dari mulut Milea. Makian itupun berbuah tamparan yang
mendarat keras di wajah cantik Milea.
Tamparan
tersebut rupanya menjadi awal pertengkaran dua sosok berpengaruh di sekolah
itu. Perkelahian pun tak terhindarkan diantara keduanya. Adegan mereka
berkelahi diambil dengan sangat bagus oleh kameramen, detail pada setiap
sudutnya sehingga adegan itu tampak nyata. Sosok dilan yang jagoan berhasil
ditampilkan walau menurutku, bagaimana dilan memunculkan sifat garang dalam
perkelahiannya tidak terlalu tampak karena dia lebih menunjukkan raut muka
menyerigai saja.
Walau
bagaimanapun, film ini berhasil membuat baper insan muda Indonesia. Penonton
yang dibuat penasaran melalui trailer film itupun akhinrya terpuaskan dengan
sosok dilan yang pacar-able. Kisah
romantis yang disuguhkan selama 110 menit itupun sukses membuat para jomblo
yang gebet mulu jadi kagak memiliki 1001 cara baru untuk mendapatkan gebetan dengan
cara yang jitu.
Pun
aku. Sebagai seorang lelaki, sosok Dilan memberi refleksi tersendiri kepada
penulis bagaimana cara memperlakukan perempuan. Sosok Dilan yang melindungi Milea
dan selalu ngemong berhasil membuat
sosoknya begitu berarti dimata Milea. Betapapun receh gombalannya, sosok Dilan
akan tetap dikenang.
***( @AlMubarockal )***
keren!
BalasHapusuwuwuwuwuwu
BalasHapus