“Ya sini, 5 menit dah harus sampai.”
Kalimat tersebut membuatku gelap mata. Saking
gelapnya, jalan berlubang sepanjang jalan kuterjang begitu saja. Berkali-kali
motor ini melompat-lompat mengikuti kontur jalan yang tidak rata. Tangan ku pun
lincah mengarahkan motor mencari jalan termulus agar usaha menjemput dia turut
mulus juga.
Aku tiba dalam 5 menit di depan indekosnya tanpa
kurang suatu apa. Kejadian setelahnya bisa ditebak: bertemu, bertatap muka,
bertukar senyum, menyapa ala kadarnya, dan menanyakan kabar. Wow, pertemuan
singkat yang oke tapi hatiku ingin sekali teriak, “kesuen, ayo nonton
teater!”
Motor menderu menembus gerimis. Tangan ini sibuk
mengatur gas motor untuk melibas lautan manusia-manusia bucin di jalanan jogja
nan sempit. Tak peduli basah, yang penting kami tidak kehilangan banyak scene
pementasan.
Kami tiba di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja di
bilangan Kasihan, Bantul. Kehadiran kami disana untuk menyaksikan Jagongan
Wagen edisi Bulan Desember 2019. Pementasan sebulan sekali itu aku ketahui dari
sosial media. Pada poster yang tersebar di dunia maya, Pementasan
tersebut berjudul “Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari”, dengan serigala
sebagai latar posternya. Sejujurnya, aku penasaran, apa hubungan judul dengan
serigala.
Pentas sudah berjalan 15 menit saat kami mendudukkan
pantat diatas tikar. Saat itu, seorang aktor bertopi flat cap sedang
berdialog dengan para penonton. “Ini tuh pentas teater apa stand up comedy
sih, al?” tanyanya kepada ku yang masih mencerna keadaan. Hmm, rupanya adegan
diatas panggung, sepertinya, memang disetting untuk melibatkan penonton sebagai
aktor cum pengalam yang turut menghidupkan jalan cerita. Dialog begitu
lancar, penonton juga merespon dengan aktif. Memang, saat itu sang aktor sedang
berlagak menjadi seorang guru yang memberi pertanyaan-pertanyaan seputar
sekolah dan jalan cerita pementasan hari ini. Berani
juga untuk melibatkan penonton dengan dialog seperti ini, pikirku.
Sang aktor bertopi tersebut berganti peran. Jaket
yang ia kenakan tadi berubah fungsi menjadi kerudung. Ia menjadi seorang ibu,
tepatnya ibu rumah tangga yang kehilangan. Dengan mengulek cabai, ia bercerita
mengenai Andi, anak satu-satunya, yang lebih sering tinggal di jalanan
ketimbang di rumah. Sang ibu bercerita tentang hubungan andi dan keluarga,
tentang masa lalu anaknya, dan seringnya ia didatangi polisi. Setiap polisi
hadir, andi kemudian selalu menghilang, Berhari-hari, berbulan-bulan. Kata yang
keluar dari mulut sang ibu menggambarkan keadaan sebenarnya, membawa emosi nan
sarat makna, yang membuat penonton pelan-pelan memahami jalan cerita. Sang
aktor berhasil menjiwai sosok ibu yang menanggung beban anak buronan
polisi.
Awalnya, aku kira pementasan kali ini adalah pentas
monolog. Ternyata, sang aktor bertopi tidak sendirian. Andi
akhirnya muncul. Ia menceritakan masalahnya. Menceritakannya di talkshow yang
dipandu sang pria bertopi yang sudah berganti peran menjadi pemandu acara.
Transisi penjiwaan perannya sangat halus! Emosi diatas panggung berhasil
terjaga. Dialog antar aktor membawa emosi yang saling mendukung dan membuat
suasana panggung cocok untuk mengungkap cerita selanjutnya. Salut sekali!
Cerita selanjutnya mengalir begitu saja: bahwa andi
seorang begal, tukang klitih nomor wahid, dengan jam terbang klitih tinggi
diiringi dengan segudang prestasi klitih nan mentereng. Ia memulainya sejak
remaja. Embrio “gali”-nya muncul sejak dari sekolah dasar, dengan
berkelahi menantang gurunya sendiri. Pikirku, memang sangar bocah ini!
Pementasan sampai pada puncaknya ketika sesi dialog
dibuka. Penonton bebas menanyakan apa saja ke andi. Sungguh, pementasan ini
keren sebab ia berani membawa penonton untuk terlibat lebih jauh. Secara acak
peserta melontarkan pertanyaan ke andi. Mulai dari kapan nglitih, kapan mulai
membunuh orang, jumlah korban yang diklith, kenapa nglitih, rasanya nglitih,
dan hal-hal perklitihan yang perlu dikupas. Jawaban andi membuat penonton
terhenyak sebab ia menjawab dengan mantap, seakan-akan menyatakan bahwa ia
bangga mengklitih orang dan tidak akan berhenti.
Andi kemudian balik bertanya kepada penonton.
Bertanya secara acak tentang apapun. Tentang ia, tentang gengnya, tentang
klitih, hingga tentang hal paling normatif soal solusi. Bahwa klitih bagi
penonton adalah sesuatu yang negatif, menimbulkan kerusakan materil juga moril,
dan meresahkan sebab mampu menghilangkan nyawa orang. Bahwa pelaku klitih
adalah seorang berandalan yang beringas, susah diatur, jauh dari tuhan dan
akrab dengan kemaksiatan. Bahwa perilaku klitih adalah kejahatan, sesuatu yang
amoral, menggangu kenyamanan. Bahwa klitih perlu dihapuskan.
Sayangnya, kita tidak sadar bahwa klitih itu
ekspresi. Bahwa klitih adalah sesuatu yang negatif sebab ia adalah bentuk
perlawanan terhadap ketiakadilan. Ketidakadilan akan pemerataan kesejahteraan,
ketidakadilan akan akses untuk tinggal dan hidup bersama dengan tenang dan
nyaman, ketidakadilan akan sistem yang sewenang-wenang. Bahwa pelakunya benar
terganggu secara psikis sebab masa kecilnya yang tidak seindah cerita orang.
Hidup dibawah bayang-bayang perceraian orang tua, ketidakharmonisan keluarga,
hingga hidup susah sebab akses akan ekosospolbud yang sulit digapai. Bahwa
benar perilakunya lekat dengan tindakan amoral sebab lingkungan sosialnya gagal
untuk memahamkan norma-norma, tentang yang benar dan salah, pun nilai-nilai
keagamaan yang utuh lagi menyejukkan.
Sungguh, pasca pementasan, aku baru benar-benar
sadar bahwa selama ini kita sama-sama mementingkan ego kita masing-masing. Yang
mengklitih tidak peduli akan nasib kita, pun yang diklitih juga abai akan hak
yang selama ini kita renggut dari dirinya. Permasalahan klitih rumit sejak dari
pikiran kita masing-masing.
Lantas, bagaimana solusinya? Entahlah.
Kami saja, selepas pementasan, terlibat pembicaraaan panjang mengenai itu.
Gagasan kami sama-sama tidak ketemu meski sudah sama-sama ngotot sepanjang
jalan pulang. Yang jelas, menghilangkan perilaku klitih membutuhkan kerja
kemanusiaan yang sangat panjang.
Bulaksumur, 16 Desember 2019
***
* Ulasan atas pentas Jagongan Wagen “Detik
Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari.”
** Penulis:
Sholahuddin Al Ayubi (FIB UGM 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar