Masa akhir kuliah, diri ini banyak melakukan
refleksi atas apa yang sudah terjadi di masa lampau. 3.5 tahun haha hihi di
kota pelajar memberiku banyak kesedihan, kegembiraan, kesempatan, dan kekesalan
sebab ditikung konco dewe haaasssh hidup menjadi mahasiswa tidak seindah mulut para motivator expo kampus.
Mari kuawali dengan kehidupanku yang diwarnai
oleh organisasi mahasiswa bernama IMM. IMM, yang memiliki nama panjang Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah, adalah organisasi otonom milik muhammadiyah di lingkup kampus.
Ia hidup di kampus-kampus sebab pangsa pasarnya adalah mahasiswa, baik dari
PTN, PTS, maupun PTM. Ia menjadi tempat berhimpun para mahasiswa yang ingin
bergerak, menjadi progresif, selalu aktif, turut menumbuhkan jiwa sosial,
memperdalam ilmu agama, menimba ilmu dari para tokoh, sampai panjat sosial agar
cepat sampai ke hierarki paling tinggi dari struktur sosial masyarakat. Pokoknya macam-macam yang akan
kamu lakukan dan dapatkan selama bergiat di IMM.
Nah, IMM di UGM adalah anomali. UGM adalah kampus
PTN-BH, IMM adalah entitas resmi Muhammadiyah. Keduanya seakan menggambarkan
peribahasa ada rotan ada duri. Mengapa? Sebab ada batas-batas dimana IMM
tidak bisa masuk dalam ranah kemahasiswaan resmi kampus, pun dengan UGM yang
tidak bisa serta-merta mengatur gerak langkahnya sebab berhadapan dengan entitas yang sama besarnya (Muhammadiyah -red). Meski begitu, keduanya
sama-sama saling ambil untung meski kadang sesekali buntung.
IMM UGM termasuk kedalam organisasi ekstra
mahasiswa eksternal. Statusnya tidak diakui kampus. Ia bukan UKM, bukan BSO,
bukan pula komunitas. Ia tidak berhak menerima bantuan dana dari kampus, pun menggunakan
fasilitas fisiknya. Anehnya, Ia boleh tetap hidup dan berkegiatan asalkan tetap
mematuhi peraturan kampus. Ya sudah, gas mlaku loske wae rasah rewel.
Perkenalan awalku
dengan IMM UGM bermula dari pesan berantai yang kuterima di grup LINE alumni
Muallimin Muallimat Gadjah Mada. Awalnya aku tertarik sebab aku ingin tahu
ortom Muhammadiyah ini ngapain aja, sih. Meski awalnya mager, hamba bersyukur kepada kawan bernama Yacub Fahmilda, karib di Sastra Indonesia UGM, yang rela melakukan morning call berkali-kali agar tubuh ini bangun dari dipan menuju ke tempat pertemuan. Oke, mari bertemu di Grha Sabha Pramana (GSP UGM). Pertemuan berlangsung biasa saja. Kenalan, tanya motivasi ikut IMM dan latar belakang pribadi, lalu kumpul tiap klaster berbincang apapun. Lalu pulang. Selepas itu, ya sudah. Begitu saja ga ada apa-apa.
Pengalaman awalku
bergiat di IMM UGM diawali dari baksos di suatu kampung di atas Waduk Sermo
Kulon progo pada Idul Adha 2016. Kader yang saya kenal waktu itu adalah Mba
Neisha (Fisipol 12), Mas Fatah (SV 13), Mba Amsa (Fisipol 13), Mas Rusli
(Filsafat 14), dan Afif (FIB 16). Selama tiga hari disana kami menyembelih hewan
qurban, membagi sembako, dan mengadakan sekolah alam bagi anak sekolah dasar. Menyenangkan? Tentu. Impresi seperti itu perlu dirasakan
oleh Maba seperti saya.
Setelah itu, hamba masuk ke struktural IMM UGM
di bidang Media. Bidang tersebut dikomandoi Mba Amsa (Fisipol 13) dan dibantu
Mba Rara (Fisipol 15). Kerjaan saya? Jadi admin sosial media. Yang lain? Bikin
caption. Sudah, begitu saja. Selepas itu hamba vakum.
Dipusingkan dengan event internal jurusan dan
fakultas adalah hal pertama yang membuat hamba vakum dari IMM. Yang kedua
adalah meningkatnya jabatan publik di lingkup jurusan, fakultas, hingga sekelas
UKM universitas dalam satu waktu. Jabatan publik yang tidak main-main sebab
diri ini adalah orang kedua di organisasi tersebut. Sedih, tapi harus dilakukan.
Vakumnya hamba dari IMM membuat diri ini sering
malas untuk kembali bergiat disana. Angin anginan ikut kajian adalah penyakit
pertama yang hinggap. Merasa bosan dengan ceramah yang, bagi hamba pada saat
itu, memukul rata semua kajian terlalu normatif dan permisif. Penyakit kedua adalah sebelah
mata memandang teman-teman kader tidak memiliki kultur selentur kawan-kawan
soshum. Terlalu spaneng, agamis, dan eksklusif adalah citra yang menempel
selama tahun kedua dan setengah jalan tahun ketiga kuliah. Waktu itu rasanya
kesal sekali menyadari kenyataan bahwa IMM UGM tidak semenyenangkan itu.
Lucunya, hamba masih bertahan, bahkan hingga
sekarang. Entah diri ini masokis atau bukan, tapi hamba merasa diri ini belum
menyelam terlalu dalam. Hamba pernah berkata kepada alter ego diri, “Wong kita
udah basah, ya nyebur aja sekalian.” Maka dari itu, menyelam sampai ke ujung
terus hamba lakukan sampai sekarang.
Motivasi lain saat itu, bahkan sedari awal hamba
berpakaian putih biru, sebab diri ini berprinsip seperti ini: “kalau ingin
mengenal tuhan, cara kawan-kawan nahdliyin adalah suatu kesungguhan. Tapi kalau
ingin mengenal manusia, maka cara Muhammadiyah adalah suatu keniscayaan.” diri
ini merasa dekat dengan tuhan ketika memakai cara kawan-kawan nadhliyin dengan
sholawat bersama habaib, zikir bersama selepas solat berjemaah, hingga ngaji
kitab klasik setiap selesai solat. Tapi, hamba akan benar-benar bisa mengenal
manusia dengan segala tingkah lakunya lewat Muhammadiyah melalui amal usahanya.
Betapa, perangai manusia yang berbeda-beda itu tampak ketika dihadapkan dengan
sesuatu yang wujud.
Syukur, semesta atas izin tuhan yang maha
pengasih mengizinkan hamba terus bergiat di IMM sampai sekarang. Merasakan
berjuang ikhlas itu bagaimana, mencicipi hidup selo-selo spaneng sebagai
pimpinan selama 390 hari, menimba ilmu dari para tokoh yang berhasil
mengintegrasikan ilmu agama, ilmu sosial, dan kelurusan akhlak hingga hal-hal
lain yang jika hamba tulis bisa jadi topik untuk tiap bab buku otobiografi
Sholahuddin Al Ayubi: pikiran dan perbuatan saya (akan terbit kalau sedang otw
jadi persiden).
Jadi, Begitulah, kisah hamba bersama IMM UGM.
Cinta dan benci yang muncul beriringan setiap berkegiatan di IMM, UGM pula.
Kadang Menyenangkan tapi lebih banyak menyedihkan. Memang diwarnai dengan
berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak. Namun, semua itu tidak pernah sengaja
dilakukan dengan tujuan kebencian. Lagi pula, berjuang tidak sebercanda itu,
bukan?
***
Ditulis di
Yogyakarta, 19 Maret 2020.
untuk Luna DRW
oleh Sholahuddin
Al Ayubi
Diiringi lagu “Rehat”-nya Mas Kunto Aji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar