Sabtu, 04 Februari 2023

Usia Baru Selera Baru

 Kata orang, umur adalah deretan angka-angka. Ungkapan ini terasa biasa dan terkesan bijak. Termasuk aku, yang merespon kalimat tersebut dengan biasa saja. Tapi, setelah dipikir-pikir, enggak juga.

Sore ini, gamada berkumpul. Gamada yang biasanya ‘da’ tersebut berarti muda, kali ini maknanya jadi kadaluarsa. Kadaluarsa sebab sudah berlalu hampir 6 tahun yang lalu. Meski begitu, kami tetap antusias untuk pergi ke kampus sembari wisata masa lalu.

Perangai kami masih sama: suka bercanda, komentar seenaknya, menghina sepuasnya. Kami begitu bebas berbagi apa saja, dari yang baik-baik sampai yang, mungkin, tidak bisa dibayangkan kalau pernah melakukan itu di masa lalu. Hingga tibalah saatnya kami mengenang hari-hari yang telah lampau.

Dari cerita-cerita di hari yang telah lampau itu, aku menyadari bahwa selera kami berubah. Atau mungkin mulai berubah. Di masa lalu, misalnya, ketika kami suka mabuk-mabukan di dalam kampus sampai teler dan berkelahi masing-masing dianggap biasa saja, 10 – 20 tahun kemudian itu terdengar liar dan menakutkan. Ketika menonton ketoprak yang suka bercanda seksis dan seenaknya sendiri, 5 – 10 tahun yang akan datang bercandanya akan sangat "internet sekali". Bahkan ketika kamu bertemu seniormu kamu merasa segan, sekarang ketemu senior saja sudah enggan bahkan sudah tidak malu.

Dari situ aku sadar, tata krama berubah seiring waktu, seiring zaman. Orang-orang yang hidup di masa lalu, akan kaget dengan kelakuan anak-anak sekarang. Pun yang hidup di masa sekarang akan mengganggap orang-orang di masa lalu sangat kaku, tidak terbuka, dan cenderung norak. Prinsip-prinsip seperti ini aku pikir wajar ada dalam diri setiap individu. Tapi bagiku, manusia adalah manusia ketika dia peka terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Teringat dalam bahasa inggris, ada ungkapan “when in Rome, do what romans do”. Teringat pula dalam bahasa Indonesia, ada peribahasa “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.  Intinya sama, seorang manusia itu harus bisa menyesuaikan dirinya di setiap tempat dimana dia berada. Manusia terikat ruang dan waktu ketika dia “berpindah-pindah”. Kalau tata kramanya berbeda seperti yang dianut dan diajarkan sejak kecil, manusia bisa menyerap tata krama baru meski perlu sedikit penyesuaian dalam diri.

Lalu, kenapa tulisan ini judulnya selera baru? Sebab, ketika kita menyerap “Tata Krama” baru, kita, mungkin juga, menyerap nilai, norma, bahkan selera masyarakat yang ada di sekitar kita. Meski argument ini tidak valid betul. Ada beberapa factor yang mungkin juga ikut membuat kita menjadi pribadi yang berbeda: usia kita bertambah dan menyadari diri ini semakin tua, hiburan yang kita pilih sebagai pelipur lara, tekanan kerja yang kadang bikin stress, pasca baca buku jadi makin tahu, dan lain sebagainya. Semuanya bersatu padu untuk membuat diri menjadi manusia baru dengan selera baru di usia baru.

Lantas kalau sudah begitu, mau gimana lagi? Manusia harus bisa beradaptasi. Ketika bertemu yang baru, jadilah manusia baru dengan nilai dan selera yang baru. Kalau bertemu yang lama, ya tetaplah jadi manusia yang baru dengan nilai dan selera yang baru tapi tetap menghormati pilihan teman-temanmu. Sebab kamu tidak bersamanya di saat yang lain pesat berkembang, maka tidak heran jika ketika bertemu, kita saling menjual masa lalu untuk bisa berbicara denganmu.

ditulis di Bulaksumur, tanggal 4 Agustus 2022.

"Renungan pribadi yang diputuskan boleh dibaca bebas sebagai pengingat diri, siapapun diri itu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar