Senin, 16 Juli 2018

Belajar dari Merapi: Magelang Pakubumi


Magelang menjadi sumber tulisan ini bermula. Wilayah yang dibedakan secara administratif menjadi kota dan kabupaten ini terletak di Provinsi Jawa Tengah. Merapi menapakkan kakinya di kabupaten magelang dan disanalah cerita akan berlanjut.
Kami tiba di rumah Bu Projo dengan perut terisi nasi ayam khas warung padang. Hidangan berbuka puasa tersebut menambah semangat kami bersebelas saat mendengar arahan singkat dari bu projo dan kawan-kawan coordinator dari KLM.  
Pada kesempatan ini, sebelas orang akan disebar ke empat titik pos yang sudah ditentukan. Jarak rata-rata tiap pos dari puncak merapi berkisar antara 5-6 kilometer. Tiap pos akan diisi oleh dua dan tiga mahasiswa UGM. Ronda malam tetap menjadi kewajiban kami seperti kemarin.
Kali ini, saya selain bersama mas hendra, juga ditemani Mba Tami untuk melewati malam yang panjang. Ditemani pak singo, kami menuju ke Dusun Sumber. Dusun Sumber terletak enam kilometer dari puncak merapi. 
Saat pertama tiba, kami disambut enam belas laki-laki. Anak-anak muda dan para senior berkumpul di sekitar pos jaga. Sebuah gubuk berukuran 3x3 berdiri jumawa berselimut kain putih bersih yang menunjukkan bahwa gubuk tersebut belum lama berdiri. Api unggun yang dikelilingi tikar tergelar di kanan-kiri. Permainan gaple menjadi pemandangan biasa karena memang itu satu-satunya permainan yang mengasyikkan di kala malam.  
Hal pertama yang kulakukan adalah berkeliling. Ya, pos ronda yang akan aku tempati ini memiliki kondisi lingkungan yang menarik menurutku. Betapa tidak, pos ini terletak di belakang sekumpulan rumah yang mana rumah tersebut seperti membentuk persegi panjang dengan menyisakan satu halaman kosong yang luas ditengahnya sebagai jalan. Rumah tersebut saling berhadap-hadapan satu sama lain tanpa ada pagar ataupun sekat pemisah lainnya. Rumah tersebut juga memanjang ke samping.
Bagian belakang pos ronda tak kalah indah. Terdapat sawah dan kebun milik warga yang tertanam rapi. Sawah tersebut berbentuk terasering, seperti sawah di pulau Bali. Aku yakin saat mentari muncul, wajah desa tersebut di pagi hari akan sangat indah.
Setelah puas berkeliling, aku mencoba membaur dengan warga yang ikut ronda. Beberapa pemuda asyik bermain gaple, beberapa sibuk membalas pesan di gawainya. Percakapan antar pemuda terdengar bernada, mungkin ini logat orang jawa tengah daerah magelang yang selalu memberi akhiran dengan nafas panjang di setiap kalimatnya.
Obrolan serius mulai terjadi. Bukan, bukan dengan para pemuda itu, akan tetapi, dengan salah satu orang sepuh yang ada di dusun itu. Orang yang memulai obrolan serius itu bernama Pak Muhadi.
 Obrolan dimulai dengan menanyakan kondisi dusun selama merapi terbangun. Dusun tersebut sering terkena abu vulkanik merapi apabila merapi terbatuk. Letusan freatik akhir mei kemarin menjadi salah satu contoh mengapa dusun ini rentan terkena dampak bencana dikarenakan dusun ini bakal tertutup abu dengan jumlah yang tak sedikit. Penduduk yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani di dusun ini juga akan mengalami gagal panen apabila tanamannya tertutup hujan abu tebal.
Dusun sumber ternyata sudah sejak dulu menjadi sasaran empuk merapi untuk disakiti. Letusan merapi pada tahun 1930 menjadi salah satu buktinya. Kala itu, teknologi belum secanggih abad ke 21, desa itu belum mengenal listrik sehingga saat malam menjelang, masyarakat hanya bermodal sentir atau lampu teplok. Syukur-syukur jika ada cahaya rembulan, terang dusun itu. Sayangnya, Merapi meletus saat malam menjelang tanpa purnama. Warga tidak sempat menyadarinya karena merapi saat itu membunuh warga dusun dengan cara yang halus.
Merapi mengeluarkan gas beracun. Gas itu keluar bersamaan dengan awan panas yang keluar dari mulut merapi. Gas itu berlari lebih cepat dari awan panas sehingga ketika warga sadar merapi melalui awan panasnya sedang mencoba untuk membunuh warga, mereka lebih dulu mati oleh gas beracun. Awan panas kemudian datang membereskan semuanya. Merapi meletus sejadi-jadinya. 
 Konon, letusan pada tahun itu merupakan yang terparah. Setidaknya lebih dari 1000 warga meninggal dunia. Desa-desa yang berada dekat dengan puncak merapi  juga dilahap awan panas. Yogyakarta diselimuti abu tebal selama berhari-hari.
Menariknya, menurut penuturan Mbah Muhadi dari pengakuan simbah-simbah buyutnya dahulu, Kondisi dusun tersebut ketika ditemukan pasca merapi meletus masih sama seperti kondisi awal. Posisi warga tidak berubah, masih seperti kegiatan sebelum awan panas mendekati mereka. Sayangnya, mereka sudah tak bernyawa. Bahkan, saat korban disentuh, tubuhnya akan melebur seperti abu. 
         
     Dari kejadian tersebut, penduduk sekitar lebih waspada terhadap lingkungan sekitar. Mereka menggunakan ilmu titen dan ilmu tenger untuk mengantisipasi bahaya gunung merapi. Melihat, mendengar, dan merasakan bagaimana kondisi gunung merapi, sesimpel itulah ilmu titen dan ilmu tenger. Gejala alam sering nampak, tapi terkadang tidak disadari. Maka dari itu, orang yang tinggal di sekitar merapi harus mampu untuk peka dengan alam tempatnya tinggal.
 

              Aku sebagai pihak yang didongengi merasa takjub. Dusun ini ternyata menyimpan ceritanya sendiri soal merapi. Mereka yang menjadi sesepuh dusun ini merupakan pelaku dan saksi sejarah keganasan merapi. Bersyukurlah tuhan mempertemukanku dengan pak muhadi yang ternyata doyan sekali bercerita panjang lebar, seperti cerita berikutnya.


              Pak Muhadi berkata bahwa beberapa dusun di wilayah sumber dukun masih sering menjalankan ritual ala orang jawa. Jika sudah masuk waktunya, mereka akan menjalankan ritual sesuai jatuh hari dalam penanggalan jawa. Beberapa tempat di sekitar sumber dukun yang dekat dengan puncak merapi pun masih disakralkan oleh penduduk sekitar.  

              Dia juga mengaku sering diminta tolong orang-orang dari bawah –sebutan untuk penduduk luar lereng merapi- untuk turut “mengantarkan” ke tempat yang disakralkan tersebut. Mereka ingin bertapa disana, mencari wangsit salah satunya. Pak Muhadi juga manut-manut saja diminta tolong seperti itu. Dia beralasan itu merupakan satu-satunya cara dia untuk turut menjaga dan melestarikan tradisi yang hidup disana. 

              Berkomunikasi melalui ritual memang menjadi salah satu cara untuk memahami merapi. Ritual-ritual tersebut merupakan cara untuk kulanuwun ke penghuni lain gunung merapi. Manusia harus hidup harmonis dengan alam dan penghuni lainnya, itu salah satu yang melatar belakangi mengapa penduduk sekitar sering mengadakan ritual. 

              Beruntungnya, penghuni lain itu akan turut serta membantu kehidupan warga lokal. Tanah yang subur, cuaca yang cerah, hasil alam yang melimpah adalah bukti nyata yang diakui oleh penduduk merupakan salah satu bantuan dari mereka yang tidak terlihat. Makhluk itu juga tidak segan untuk memperingatkan penduduk mengenai merapi. Misalnya, ketika merapi akan meletus, penduduk terpilih akan didatangi oleh bidadari berwajah jelita dan diberi tahu. Akan tetapi, kondisi sebaliknya malah dirasakan oleh penduduk yang dirasa benar-benar sakti. Dia akan didatangi dengan keadaan yang benar-benar tidak bisa dibayangkan, mungkin frasa mengerikan cocok untuk menggambarkan kondisi fisiknya, tapi kata Pak Muhadi, tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkannya karena memang begitulah keadaan yang sebenarnya.  

              Orang yang didatangi bidadari cantik dengan yang tidak ternyata memiliki perbedaan. Kata Pak Muhadi, biasanya mereka yang didatangi makhluk tak rupawan lebih dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab memperingati penduduk sekitar mengenai kondisi merapi. Dia juga mengemban amanah menjadi penghubung antara mereka yang tak terlihat dengan yang terlihat. Maka dari itu, orang yang didatangi si buruk rupa akan lebih didengar oleh masyarakat dan dipatuhi segala nasihatnya.  

              Malam semakin malam, cerita masih berkutat mengenai pengalaman Pak Muhadi dengan kisah-kisah mistis selama tinggal di lereng gunung merapi. Aku yang takjub mendengar kisah-kisahnya kemudian menarik kesimpulan bahwa seseorang melakukan sebuah ritual bukan tanpa alasan. Ada sebab akibat mengapa hal itu terjadi. Mungkin ritual dan cerita yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan Pak Muhadi terkesan tidak masuk akal, tapi memang logika tidak akan berlaku disana. Bagaimana diri ini bisa peka merupakan kunci untuk memahami itu semua. 

              Maka dari itu, wajar, apabila magelang menjadi pakubumi. Apabila orang-orang ditempat ini tidak lagi menjalankan ritual ataupun enggan untuk menjaga keharmonisan dengan alam, maka bumi jawa akan geger. Merapi akan mengamuk sejadi-jadinya. 

*** (Al) ***
      


Selasa, 03 Juli 2018

Belajar dari Merapi: Sleman yang Ramah.

Merapi selalu nampak indah setiap pagi. Tubuh setinggi 2930 Mdpl ini terlihat gagah dilihat dari sisi utara jogja. Mentari yang bersinar cerah dengan awan yang terwarna tipis seperti saputan kuas menambah elok pemandangan merapi dengan latar langit biru.
Pemandangan seperti itu kerap terlihat bila cuaca cerah. Siapapun orang jogja yang pergi ke arah utara atau kebetulan menengok ke arah sana akan menemui pemandangan tersebut. Terlebih aku, yang setiap hari harus melewati fly over lempuyangan untuk berangkat ke kampus kerakyatan. Melihatnya setiap pagi dari atas fly over seperti menjadi caraku untuk mengagumi keindahan tuhan.
Sayangnya, setiap keindahan menyimpan bahaya. Keindahan merapi berbanding lurus dengan label gunung teraktif di dunia. Merapi yang termasuk dalam jajaran gunung paling berbahaya di dunia ini memiliki siklus tersendiri untuk meletus. Tercatat, pasca reformasi, gunung ini telah meletus sebanyak 2 kali dengan letusan paling parah pada tahun 2010. Letusan tersebut merusak banyak infrastruktur dan menghambat profesi warga lokal.
Mengingat hal tersebut, berbagai cara dilakukan sebagai antisipasi awal. Berbagai latihan mitigasi bencana digelar, sosialisasi digencarkan. Harapannya, kegiatan tersebut dapat menjadi edukasi tambahan. Sayangnya, mereka lupa, warga merapi mandiri karena bencana itu sendiri.
Saya mendapat kesempatan untuk membuktikan sendiri pernyataan yang tertulis diatas. Gelanggang Emergency Respon selaku salah satu unit tanggap bencananya mahasiswa UGM mengadakan giat merapi selama tiga hari. Giat tersebut dilaksanakan dalam tiga hari terhitung sejak tanggal sembilan juni. Waktu tiga hari itu akan dihabiskan untuk menjelajahi 3 kabupaten yang duduki merapi, yaitu kabupaten sleman, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Boyolali.
Tulisan ini akan menceritakan perjalanan di hari pertama, tepatnya di Kabupaten Sleman. Perjalanan pertama menjelajahi Sleman atas diikuti oleh 20 mahasiswa. Berbekal motor pribadi dan mobil operasional resimen mahasiswa UGM, kami naik menuju daerah kaliurang pukul 21.00 malam untuk koordinasi terakhir dengan penduduk lokal.
Delapan pos siap menampung kami. Pos-pos ini tersebar di berbagai penjuru di sekitar merapi. Jarak pos ini dengan merapi pun beragam, rata-rata delapan kilometer dari puncak. Pos ini dijaga oleh warga lokal yang melakukan ronda malam yang mana ronda malam tersebut digiatkan untuk berjaga-jaga apabila merapi tiba-tiba meletus.
Kegiatan ini merupakan inisiatif warga sekitar lereng merapi. Mereka mendirikan pos-pos jaga yang sederhana. Warga sekitar bahu-mebahu melancarkan ronda malam agar kondisi perkampungan siap siaga menghadapi bencana.
Aku berkesempatan untuk ikut membantu warga melaksanakan ronda di Dukuh Ngandong. Dukuh ini berada di lereng merapi, kurang lebih delapan kilometer dari puncaknya. Ronda malamku kali ini ditemani oleh mas hendra, pria asli pulau dewata, bersama pemuda karang taruna dusun ngandong. 
Kepala Dukuh turut serta ikut ronda malam. Bapak kepala dukuh ini mengatakan bahwa ronda malam sering diadakan beberapa hari belakangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi letusan merapi sehingga warga dukuhnya siap untuk turun gunung. Anggota ronda malam sering tidak tetap karena ini kegiatan sukarela, siapa yang mau boleh bergabung, kata pak kepala duku yang aku lupa namanya, huhuhu :( 
Malam semakin dingin, tapi kami yang berada di pos jaga pantang pulang. Permainan gaple dan karambol membuat kami betah duduk disana. Waktu berjalan lambat disaat laju pin karambol melesat cepat. Canda tawa khas anak muda menambah hangat suasana di sekitar pos jaga. Logat jawa Yogyakarta mereka kentara sekali setiap mengompori teman yang payah bermain kartu gaple pun karambol. 
Singkong bakar menjadi sahabat yang baik malam itu. Dia berhasil mengganjal perut-perut yang kelaparan. Satu panci besar berisi kopi panas juga siap sedia tuk mengisi stamina kami agar kuat sampai pagi. Ransum memang disuplai oleh penduduk sekitar. Kopi dan gula paling sering, syukur jika ada camilan. Singkong juga diambil dari kebun warga.
Kami naik ke kaliurang juga membawa teman jaga. Kopi, gula, mie instan, teh dan 3 bungkus cemilan ringan berkumpul dalam satu plastic hitam. Makanan ini sengaja kami berikan sebagai ungkapan kulanuwun kami kepada warga sekitar. Dua bungkus plastic hitam diterima dengan baik oleh warga ketika kami memberikannya saat menginjakkan kaki pertama kali di pos.
Terkejutnya saya, ketika plastic-plastik itu dibongkar, mereka membagi-bagi kembali isi plastic tersebut beberapa bagian untuk dibagikan kembali ke pos-pos jaga yang lain. Beberapa pemuda kampung aku lihat menghela motornya membelah dinginnya malam menuju pos-pos yang aku tidak tahu dimana letak pastinya. Disaat seperti ini, mereka tetap peduli dengan sekitarnya. Solidaritas antar warga terjalin sangat baik. Tenggang rasa diantara sesame yang menjadi cirri khas orang Indonesia saya temui kembali di tempat yang sedang diintai bahaya.
Waktu menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit. Mobil operasional resimen mahasiswa UGM yang mengantar kami naik sudah siap untuk turun ke bawah. Kami berdua pun pamit undur diri. Di perjalanan pulang, pikiran ini masih mengulang kembali kegiatan yang baru saja aku alami. Ternyata, keramahan masih tetap terjaga tidak peduli bagaimanapun kondisinya. Penduduk yang selama ini kami kira harap-harap cemas diintai sang merapi tetap menunjukkan sikap guyub rukun. Tak terbersit rasa takut pada raut wajah mereka. Sikap mereka seakaan berkata #kamitidaktakut. Merapi telah membuat mereka mandiri dan berdikari.
Perjalanan masih panjang. Masih ada dua kabupaten lagi yang akan kujelajahi. Entah harta karun apa yang akan ku temui disana. Aku siap belajar dari mahaguru gunung merapi.
*** (Al) ***