Kamis, 03 Desember 2020

Alasan Kenapa Saya Mencintai Tulisan Teman-Teman Saya

Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Setidaknya begitulah kata Pram. Saya yakin kalimat tersebut diamini oleh banyak orang yang menulis. Toh, orang zaman dahulu juga sudah sepakat bahwa menulis itu berkaitan dengan keabadian. Sebab kata mereka, Verba Volant Scripta Manent. Lisan itu sementara, tapi tulisan abadi.

Bagi saya, menulis adalah kegiatan yang menyenangkan. Bukan, bukan karena saya senang bakal mendapatkan keabadian. Menyenangkan sebab dengan menulis diri ini tetap waras karena berhasil mengeluarkan uneg-uneg dalam diri. Menulis adalah alasan untuk tetap waras di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin payah lagi berat.

Sayangnya, di tengah-tengah kepayahan dunia, diri ini sering kehilangan kemampuan untuk tetap menulis. Banyak sebabnya. Malas tentu jadi yang paling besar. Sisanya seperti tidak ada waktu, tidak ada ide, dan beragam alasan lain yang berkaitan dengan personal dan sekitar.

Bersyukur, Tuhan lewat perantara teman-teman saya membantu untuk tetap waras lewat tulisan-tulisan mereka. Dengan sedikit bantuan internet, anugerah Tuhan tersebut datang dalam wujud blog. Disitulah saya menemukan kembali motivasi untuk tetap waras dengan membaca tulisan teman-teman saya.

Saya mengagumi banyak tulisan, tidak peduli bagaimana bentuk dan formatnya. Tapi kalau ditanya siapa penulis yang mempengaruhi diri ini? Saya akan dengan bangga menyebut teman-teman terdekat saya, khususnya mereka yang ada di Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Sebagai mahasiswa sosial humaniora yang terdidik dengan cara pandang ilmu budaya, tulisan-tulisan kami lebih seperti “masyarakat indonesia”. Maksud saya, ketika, entah siapapun kamu, membaca tulisan anak-anak FIB, selama dan setelah sampai di kalimat akhir tulisan tersebut akan muncul decak kagum sembari mengumpat dikit-dikit -kalau mau- dengan perasaan yang, kalau boleh saya tulis, “bisa gitu ya”.

Cara mereka menulis tentang masyarakat Indonesia beserta seluruh kondisinya terasa sekali lewat tulisan itu. Rasa-rasanya tulisan itu hidup dan bergerak persis seperti adegan sehari-hari. Cara mereka menulis adalah keajaiban alam semesta yang ditunjang dengan diskusi, dolan, kuliah lapangan, moco buku para orientalist dan ulama, review jurnal, dan berpesta - tentu saja. Itu alasan pertama.

Alasan kedua adalah mereka orang-orang yang jujur. Jujur dalam hal ini yakni mereka orang-orang yang berani menyampaikan sesuatu apa adanya. Yang A dikatakan A pun yang B dikatakan B. Makanya, pada paragraf kelima saya menyanjung mereka yang tulisannya sangat “Masyarakat Indonesia” sekali. Penyampaian apa adanya tersebut juga ditunjang dengan kemampuan memainkan diksi dan menyelipkan humor-humor segar nan mbuh. Para penulis FIB itu menyadarkan para pembacanya dengan cara yang menyenangkan. Mantap bukan?

Alasan ketiga dan terakhir tentu saja karena mereka. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh dan menyenangkan. Karena mereka saya menjadi mahasiswa FIB yang mbuh, menyenangkan, menulis pula.

Tentu ini menjadi bukti bahwa perjumpaan dengan orang-orang baru berarti perjumpaan dengan cita-cita baru. Bahwa setelah ini dan selanjutnya cita-cita saya adalah tetap menjadi waras lewat menulis. Sebab lewat menulis kamu abadi karena tulisan menyembuhkanmu lewat dengan cara yang tidak terduga.

 

Yogyakarta, 3 Desember 2020

Sholahuddin Al Ayubi

Sabtu, 02 Mei 2020

Karantinaku Dihantui Pilkada

Overthinking adalah passionku. Tiap detik, tiap menit, tiap ganti rezim, overthinking selalu muncul. Ia seakan menjelma menjadi khodamku, meski efek sampingnya jin ifrit dalam tubuhku akan turut overthinking.

Korona seakan-akan menambah waktuku untuk bermesra-mesraan dengan overthinking. Terisolasi dalam ruangan seluas 3x2 meter diatas sultan ground selama hampir 24/7 bersama makhluk bernama overthinking terasa sangat pedih lagi menyebalkan. Sungguh!
Overthinking hari ini dimulai dari timeline Twitter yang ramai karena #BupatiKlatenMemalukan. Gara-gara handsanitizer bantuan kementerian sosial RI ditempeli stiker norak sang bupati, amarah warga twitter meledak. Rasan-rasan akar rumput membuncah menjadi lebih terang-terangan selama 3 hari kebelakang dalam wujud thread dan meme

Melihat hal tersebut, diri ini teringat akan pertemuan pada awal Februari kemarin. Forum grup diskusi lintas ormas wal ormeks yang dihelat oleh CFDS Fisipol UGM saat itu membahas mengenai peran media sosial dalam gelaran pilkada. Kami yang diundang diharap memberikan pandangannya masing-masing untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi platform media sosial seperti Facebook. 
Hamba cukup berdosa jika menyimpan ide hanya pada lingkup diskusi itu saja. Handai tolan pun khalayak ramai perlu tahu apa saja keresahan beserta solusi-solusi hamba dan kawan-kawan menyikapi pilkada. Maka dari itu, lewat tulisan ini, izinkanlah hamba berbagi.
Tulisan ini menyeru kepada kalian, wahai umat-umat nirkerja atau bahkan untuk yang baru saja di PHK, tolong jangan jadi buzzer. Sungguh, jangan. Kalau pun kepepet karena tergiur uang, maka jadilah buzzer yang santun. Meski hamba dan kalian tahu itu terasa tidak mungkin.
Buzzer memang penyakit utama dalam gelaran pilkada. Opininya cenderung merusak. Tulisannya menggiring warganet untuk turut membenci satu sosok. Karakternya dibunuh habis-habisan demi kemenangan yang dipertuan.
Para buzzer bersembunyi dalam akun-akun anonim. Foto profil aneh, nama akun yang terasa ganjil, jumlah follower yang sedikit, disertai tulisan-tulisan bertendensi negatif adalah sekelumit identitas mereka. Celakanya, para buzzer tidak hanya memiliki satu akun. Ia “beternak akun” demi memudahkan tugasnya membunuh karakter seseorang di dunia maya.
Akun-akun anonim inilah yang perlu dibereskan. Kami saat itu sepakat perlu ada pengaturan jumlah buzzer. Provider internet dan media sosial perlu terlibat untuk, minimal, memverifikasi akun-akun buzzer agar traffic dunia maya bersih lagi sehat. Akun-akun resmi organisasi juga perlu dikenali dan diverifikasi demi mengetahui mana kawan mana lawan sebab buzzer juga bisa menjatuhkan nama besar suatu organisasi. Tak luput juga akun media sosial milik perseorangan, khususnya publik figure, untuk diverifikasi sebab akhir-akhir ini bermunculan akun-akun sejenis yang menduplikasi sosok tersebut. 
Tulisan ini juga menyeru kepada kalian, wahai calon kepala daerah beserta tim sukses yang akan berkorban demi kekuasaan, jadilah insan yang jujur dan berjiwa besar. Gunakanlah cara-cara yang elegan dalam mengemas kampanye. Terlebih, jika kalian menggunakan cara kreatir demi menggaet massa.
Tebakanku, Para calon kepala daerah akan berlomba-lomba untuk menunjukkan dirinya lebih unik. Maka, pilkada tahun ini akan diramaikan dengan banyak kampanye kreatif. Fenomena Tronjal-tronjol tahun kemarin sudah cukup dijadikan acuan bagi para konten kreator tim pemenangan, tinggal bagaimana mengemasnya kembali kepada diri masing-masing tim kreatif. Hanya saja, tolong, kepada para konten kreator cum tim kreatif, hargailah ide seseorang. Kampanye kreatif tentu menjadi ladang pertempuran bagi orang-orang untuk sikut-menyikut ide dan gagasan. Mendaku dirinya paling kreatif tak tahunya nyomot karya orang. Apa tidak curang?
Dan terakhir, untuk saudara-saudaraku, anak-anak generasi Z, khususnya yang masing berseragam sekolah, tolong tingkatkan literasi digital anda sekalian. Masa isolasi mandiri yang kalian habiskan bersama gadget seharusnya menjadikan kalian lebih cerdas dalam menggunakannya. Pasti banyak sekali informasi-informasi yang kalian terima. Padatnya arus informasi di internet tentu harus diimbangi dengan kemampuan menyaring dan memilah. Maka dari itu, sadar sebelum gunakan adalah hal yang wajib dibiasakan. Jaga kewarasan dan nalar berpikir menjadi satu-satunya cara untuk melindungi diri dari serangan berita hoaks dan framing menyesatkan.
Tiga hal diatas perlu dicermati. Tentu solusi memerlukan aksi. Tapi yang jelas, overthinking kali ini menjadi awal dari overthinking di kemudian hari karena pada saat pilkada itulah, hamba, handai tolan dan kalian yang membaca ini, akan lebih mumet karena terbelah sebab pilihan yang tak selalu sejalan dan hati yang tertatih-tatih menentukan kepastian.  Akhir kata, selamat overthinking yang mulia!

***
Yogyakarta, 2 Mei 2020
Ditulis oleh Sholahuddin Al Ayubi, 
Seorang calon buruh.

Rabu, 29 April 2020

Belajar dari Bapak

Corona menjauhkan hamba dari rumah. Terpisah 60 KM demi menghindari zona merah tapi ternyata dirinya sendiri berada di zona merah memaksa hamba untuk lebih kuat memperpanjang rebahan. Internet dan gadget menjadi satu-satunya alat melepas rindu kepada yang jauh disana. 

Terkadang, saat sedang asyik rebahan, diri ini sering membayangkan hal-hal yang dulu pernah terjadi selama ramadhan. Mungkin seputar betapa serunya ngabuburit bersama kawan dengan njajah mesjid milang kori, atau tentang keluarga yang satu rumah tidak sahur karena kawanen. Tentu, bayangan tentang sosok orang tertentu menjadi lebih kuat saat terpisah jauh seperti sekarang. 
Pandemi ini mengingatkan hamba akan keberadaan laki-laki tertua dalam keluarga. Sebut saja bapak. Pensiunan pegawai hotel berbintang kota wisata ini adalah penggila keselamatan nomor wahid. Pengalamannya di hotel dengan segala pelatihan K3 nya terbawa sampai ke rumah. Banyak inovasi yang ia buat di rumah demi keselamatan para penghuninya. Mari hamba sebut inovasinya satu persatu.
Pertama, peti dorong. Kayu besar persegi panjang dengan roda dibawahnya adalah salah satu  inovasi bapak. Peti ini ada dua buah, satu berisi dokumen-dokumen penting keluarga seperti akta, KK, dan ijazah. Satu lagi berisi barang pecah belah dan slot ruang untuk baju. Alasan pembuatannya? Sederhana. Jika rumah, misalnya, mengalami kebakaran, maka penghuni rumah akan berlari bersama peti dorong yang turut berlari karena tenaga dorong kami. Hanya itu. 
Kedua, folder plastik warna-warni. Selaku ketua RT, pasti data warga dan lingkungan sekitarnya berada di tangannya. Maka dari itu, folder ini berguna untuk menyimpan data agar tidak hilang. Memang berguna sesuai fungsinya, hanya bedanya, tiap folder memiliki warnanya sendiri untuk keperluan yang berbeda. Misal, kuning data warga proses jadi, merah data warga pergi, hijau untuk keperluan sampah dan kepentingan lingkungan alam sekitar, putih bening untuk file rapat, dan lain sebagainya. Bahkan, folder plastik tersebut diolesi fosfor. Kenapa begitu? agar mudah dicari ketika dibutuhkan dalam gelap atau tercecer saat malam. Duh!  
Ketiga, kaleng armageddon. Kaleng armageddon bukan wadah kaleng-kaleng. Suatu hari, kata bapak, kamu akan berterima kasih tak henti-henti karenanya. Kenapa? Karena ia menolong dari rasa lapar dan dahaga. Kaleng armageddon adalah kaleng blek berbagai merk yang berisi kebutuhan pangan tahan lama seperti susu kaleng, sarden kaleng, oatmeal, indomie hingga air minum botolan. Kaleng armageddon ini tersimpan dalam box plastik besar. Penggunaan box plastik besar juga ada alasannya. Kata bapak, "suatu hari, ketika kampung ini terkena banjir, maka box plastik ini akan tetap selamat sebab ia kedap air dan mudah mengambang,"
Itulah tiga inovasi bapak. Untuk yang terakhir, hamba sangsi karena memang belum teruji. Meski begitu, apa yang bisa dipetik dari perilaku nyeleneh bapak adalah utamakan keamanan dan keselamatan. Peribahasa sedia payung sebelum hujan rasanya-rasanya benar diamini oleh bapak

Meski bagi sebagian orang itu terasa sia-sia dan terkesan ribet, toh kita memang tidak tahu pasti kapan bencana itu datang. Setidaknya, inovasi ala bapak membuat kita bisa memperpanjang nafas ketika bencana itu melanda.

Korona menjadi salah satu contoh bagaimana bencana tidak terduga datang. Ketika orang tidak bekerja dan seluruh dunia berhenti total, maka kelaparan dan kebingungan melanda. Beruntunglah mereka yang punya simpanan sebab terhindar dari panic buying hingga panic anj1nk.
Maka dari itu, belajarlah dari bapak! 
***
Yogyakarta, 29 April 2020
oleh Sholahuddin Al Ayubi

Selasa, 21 April 2020

Belajar dari Merapi: Indahnya Merapi Ramahnya Warga Boyolali


Hari ketiga. Giat merapi ala cah Gelanggang yang mencoba belajar memahami bagaimana mitigasi bencana ala “wong nduwur” sudah memasuki masa akhir (11 Juni 2018-red). Lokasi yang menjadi tempat pembelajaran terakhir rakyat Gelanggang UGM berada di daerah Selo, Kabupaten Boyolali. 
Enam belas anggota pasukan gagah berani Gelanggang wani lan peduli bergerak menuju Boyolali. Motor-motor menderu pertanda siap mendaki gunung lewati lembah. Perjalanan ditempuh dari Desa Sumber di Magelang menuju ke Selo Boyolali, tepatnya ke Dusun Stabelan. Dusun Stabelan kami tuju sebab di dusun itulah teman-teman Komunitas Lingkar Merapi (KLM) bermarkas.
Kami tiba di rumah Mas Rembo. Mas Rembo, entah siapa nama aslinya, adalah nama panggilan akrab yang disematkan handai tolan pun masyarakat Selo sebab tampilannya yang selalu berpakaian loreng dan bertubuh kekar. Ia bertugas sebagai koordinator KLM region Selo, Kabupaten Boyolali. Tugasnya mengatur gerak teman-teman KLM dalam mengantisipasi bencana merapi. Kesehariannya di KLM dibarengi dengan pekerjaannya di ladang dan tetap rajin mengantar sayur mayur ke kota langganan. 
Disana kami mengatur strategi untuk menghadapi malam yang akan kami lalui. Kulo nuwun sembari saling mengenal satu sama lain dilakukan untuk mencairkan suasana. Selepas itu, kami melakukan briefing untuk mengenal medan yang akan kami tempati disertai petunjuk cara evakuasi jika sewaktu-waktu Merapi erupsi. Pos giat juga dibagi berdasarkan kemampuan dan keahlian tiap individu pasukan Gelanggang agar sesuai dengan lingkungan dan kondisi masyarakat.
Kenapa hal tersebut dilakukan? Sebab pos yang akan kami tempati adalah pos yang paling dekat dengan puncak Gunung Merapi. Kami akan disebar mengelilingi gunung yang mana jarak tiap pos jika dihitung dari puncak terpaut sekitar 3-4 kilometer. Jarak yang cukup dekat untuk segera bertemu sang pencipta, bukan?
Maka dari itu, cara evakuasi dan mengetahui kultur masyarakat sekitar menjadi suatu keharusan yang ditekankan pada kami saat itu. Pasukan Gelanggang harus cepat tanggap dan responsif jika memang hari itu adalah hari dimana Merapi benar-benar erupsi. Jika benar, maka hari itu juga kami adalah Tim SAR yang harus bergerak paling awal.


Enam belas pasukan Gelanggang disebar ke dalam lima pos. Mereka harus berjaga di Dusun Kedung, Dusun Sepi, Dusun Stabelan, Dusun Takeran, dan Dusun Sumber Klakah.  Tiap pos diisi oleh 3-4 orang pasukan Gelanggang. Hamba, bersama Ajun dan Mbak Eko, diutus ke Dusun Sumber Klakah. Kami bertugas di sana ditemani oleh Mas Marmin, adik kepala Dusun Sumber Klakah. 


Dusun Sumber Klakah letaknya terjepit barisan bukit. Akses jalan utama menuju kesana terputus sebab jembatan penyeberangan satu-satunya tak kunjung diperbaiki. Jalur alternatif yang ada pun benar-benar menantang sebab melalui jalan setapak tak beraspal yang kanan kirinya adalah jurang. Kondisi motor dan pengendara dituntut prima karena medan sangat sulit. Tak jarang kami sering merapal doa dan berusaha fokus agar tak terpeleset. 
Kami tiba tepat saat sholat tarawih berakhir. Jalan kampung penuh dengan ibu-ibu bermukena diiringi bapak-bapak bersarung. Anak-anak yang tidak peduli berlari-lari menjahili sesamanya. Kerumunan warga yang kami lewati semuanya membalas ramah nderek langkung kami. 
Sesampainya di rumah Mas Marmin, kami beristirahat sebentar sembari ngobrol dengan kepala Dusun Sumber Klakah. Obrolan malam itu soal keadaan warga beserta segala potensinya. Seluruh warga ternyata menggantungkan hidupnya dari hasil tani. “Cengkeh, tembakau, wortel, lan kentang ten mriki paling laris mas, tukul terus amargi subur,” aku pak Kadus. Tuhan ternyata benar-benar memberkati dusun ini dengan baik. 
Tuhan juga memberkati dusun ini dengan bahaya yang nyata. Dusun ini, kata Pak Kadus, “bakale kena dhisik dewe, mas. Merga Paling cedhak karo puncak,”. Hujan abu dan kerikil akan sering turun sekecil apapun erupsinya. Maka dari itu, dusun ini termasuk dalam kawasan rawan bencana ring 1.
Kami mulai melakukan giat tepat pukul 21.00 WIB. Kami berkeliling dusun mengunjungi pos jaga. 5 pos jaga didirikan swadaya oleh masyarakat. Pos jaga ini berdiri dari gerbang masuk dusun hingga ke ujung dusun. Guna dari pos ini adalah untuk memantau merapi sekaligus menjadi posko komando tim evakuasi saat erupsi terjadi. Setiap 60 menit kami harus mengunjungi, mengecek, dan turut membantu masyarakat untuk memantau merapi sembari haha hihi dengan sesama. 
Sembari berjaga, kami menyempatkan untuk mengobrol bersama warga. Di pos paling depan menuturkan bahwa gemuruh merapi sering terdengar tiap malam. Dusun juga sering mendapatkan gempa kecil-kecilan. Pos terdepan harus awas karena konon puncak merapi benar-benar terlihat dekat dan tampak menakjubkan. Di pos kedua, kami bergerombol bersama anak-anak muda yang sibuk bermain ludo pada gawai milik seseorang. Permainan itu terhenti sejenak ketika pemilik rumah yang dijadikan pos meminta tolong anak-anak muda tersebut untuk menyortir wortel hasil panen tadi pagi sambil memasukkannya ke dalam karung yang lebih layak. Wortel tersebut rencananya akan dibawa turun ke pasar di kota kabupaten jam 3 pagi. Tentu saja kami turut membantu menyortir wortel tersebut meski hanya beberapa menit.


Giat berlanjut ke pos tiga. Disini kami disambut bapak-bapak dan beberapa pemuda. Mereka berkerumun di dalam pos jaga berukuran 3x3 meter sembari berasyik masyuk dengan permainan gaple dan remi. Pertarungan kartu berlangsung seru. Pemain yang kalah harus menanggung caci maki kawan lainnya sembari dicoret mukanya dengan bedak. Tua muda berbaur ditemani suguhan singkong bakar yang selalu dihangatkan di pinggir pos jaga. Hamba turut mencoba bermain gaple, ya hitung-hitung mengasah kemampuan bermain kartu. Hasilnya? ternyata payah juga, hahaha.
Di pos ke empat keadaan lebih lengang, dua tubuh terkapar di pos berselimut sarung dengan dengkuran. Dua tubuh lainnya sibuk menyaksikan siaran televisi yang tak begitu jelas apa gambarnya. Besar kemungkinan Liga Dangdut.
Pos terakhir akhirnya terjamah. Hawa dingin semakin mencoba menusuk jaket berselimut sarung yang tak seberapa tebal ini. Kami berkumpul di pos kelima ditemani tiga orang laki-laki sepuh. “Nggo mas, rokok,” tawarnya kepada kami. Ternyata, yang disodorkan kepada kami adalah rokok tingwe (linting dewe), rokok khas Dusun Sumber Klakah. Disebut  khas sebab Mbako yang digunakan berasal dari tanaman yang dibudidayakan masyarakat Sumber Klakah. Salah satu lahannya berada tepat di belakang gubuk pos ini. 
Masyarakat Sumber Klakah menggantungkan hidupnya kepada tembakau. Ia tumbuh subur di tanah dusun. Para petani mecoba merawatnya sebaik mungkin agar terus laku di pasaran.  Tak heran, tembakau yang ditanam disini memiliki mutu yang baik sehingga menjadi bahan baku utama pabrik-pabrik rokok di jawa timur dan jawa tengah.
Perbincangan tentang mbako diselingi sesapan tingwe menghasilkan obrolan yang makin ngalor-ngidul. Asap-asap mengepulkan perlawanan terhadap hawa dingin yang semakin memeluk erat. Tak terasa waktu sahur telah tiba.
Kami kembali ke rumah mas Marmin untuk santap sahur. Oseng tempe dan indomie goreng kami lahap untuk bekal menempuh hari. Suasana saat itu terasa hangat dengan keluarga Mas Marmin yang ramah dan tak malu bercerita banyak hal. Pagi itu terasa syahdu.

Mentari perlahan menyinari Dusun Sumber Klakah. Warga desa mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Ada yang menyapu latar, ada yang sibuk menggelar terpal untuk menjemur hasil bumi, ada pula yang makin erat meringkuk ke dalam jaketnya masing-masing demi melawan hawa dingin. Ternyata tidur pagi itu sangatlah syahdu, sungguh!
Sayagnya, tidurnya dua laki-laki gelanggang itu membuat Hamba dan Ajun kehilangan momen kehidupan masyarakat dusun. Mereka tampak tenang dalam berkegiatan. Proses sapa menyapa berlangsung hangat. Tukar gosip antar ibu-ibu tetaplah lancar. Rombongan bapak-bapak terlihat akrab dalam menggarap lahan. Langit dan Gunung Merapi diatas sana terlihat anggun. Puncaknya terlihat bersih lagi gagah. Pokoknya, ”Elok benar pemandangan pagi ini!,” ungkap Mbak Eko.
Puncak merapi menatap kami saat roda-roda motor menuruni lembah menuju rumah Mas Rembo. Punggung Merbabu tampak melambai ke arah kami yang tidak sempat menyadari bahwa dusun ini menyimpan keindahan yang nyata. Sepanjang jalan pulang, kami sering melamun. Ternyata,  Dusun Sumber Klakah memberi kami keindahan alam dan keramahan warganya dalam sekali pertemuan. 
***
Yogyakarta, 21 April 2020
Ditulis Sholahuddin Al Ayubi

yang rindu bersosial dengan warga Merapi.

Senin, 06 April 2020

Puisi Kisah Bakul Angkringan dan Anak Gadisnya

Abi, nanti abi pulang jam berapa?
Pecah suara dalam rinai gerimis
Sedang yang dipanggil Abi 
sibuk 
menambah arang
Ke dalam perapian 
Menguapkan harap
Dan kecemasan
Sang gadis masih sibuk
Mengulang tanya
Menanti jawaban dari abi
Yang hanya menjawab nanti
Abi, berarti ga ngambil nasi lagi?
Sat set was wes
Dua, empat, dua belas
merapal angka
Mengetuk pintu yang maha kaya
Berharap malam 
Menjadi tidak sia-sia
Abi, nyuwun es teh...
Akhirnya
Bertukar mata
Melempar senyum
Memberi
Yang tidak terperi
Sembari
Jemarinya mengaduk pelan
Menuang perasaan 
Ke dalam gelas.
Yogyakarta, 5 April 2020

Sabtu, 21 Maret 2020

Menanti Naskah Masuk Sekolah


Bagi orang yang tidak percaya, ternyata melamun itu ada sisi positifnya. Melamun dapat menyebabkan turunnya ide dan motivasi untuk menulis. Dan tulisan ini adalah salah satu bentuk dari hasil melamun itu.
Tulisan ini berawal dari kegiatan penulis ketika sedang menjemput adik saat jam pulang sekolah. Di depan gerbang suatu SMP di bilangan pasar pon Kota Solo, diri ini menunggu sembari melamun. Mata melihat lalu lalang anak-anak berpakaian biru putih di halaman sekolah. Nampak para perempuan duduk bercengkrama dengan sesamanya. Beberapa laki-laki sibuk bermain sepak bola dan berlari kesana kemari entah mengusili siapa. Ceria sekali mereka sebab tidak nampak raut kesedihan pun kecemasan. Ya tipikal remaja pada umumnya yang selalu ingin bermain dan main-main. Melihat mereka, mulut ini menggumamkan kata-kata, “pernah ga ya, mereka menyadari, jika
di sekitar sekolah mereka terdapat naskah-naskah kuno yang bisa membuat mereka lebih takjub dan terheran-heran dengan isinya?”
Tak ada angin tak ada hujan, terbersit pikiran liar yang diawali dengan pertanyaan, “pernah ga ya, pelajar di solo raya mengetahui tentang keberadaan naskah kuno di kotanya beserta isinya?” pikiran selintas yang cukup sulit untuk ditemukan jawabannya. 
Kota Solo diberkati dengan adanya dua menara gading penjaga marwah kebudayaan Jawa. Menara gading itu mewujud dalam bentuk Kraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Kedua tempat ini adalah pusat pemerintahan kerajaan Jawa sekaligus kebudayaan Jawa yang penting. Ia menyimpan koleksi ratusan, atau mungkin ribuan, naskah-naskah kuno. Naskah-naskah tersebut terdiri dari beragam karya sastra, ilmu pengobatan dan kesehatan, sejarah, dan lain sebagainya.  
Naskah-naskah tersebut sarat dengan nilai-nilai pengetahuan yang sangat penting. Ambil contoh satu naskah geger pacinan yang ada di pura mangkunegaran. Naskah tersebut menceritakan detail bagaimana geger atau konflik tersebut terjadi sejak dari awal mula hingga berakhirnya. Bisa juga belajar dasar-dasar kepemimpinan melalui naskah Taj As-Salatin atau biasa dikenal dengan sebutan sulalatussatlatin karya Bukhari Al Jauhari yang melegenda dan jadi rujukan utama untuk mendidik para calon pangeran zaman dahulu.
Naskah-naskah ini terdiam di dalam rak perpustakaan Pura Mangkunegaran dan Kraton Kasunanan. Naskah-naskah ini hanya terjamah oleh para peneliti, kalau tidak mahasiswa tingkat akhir, dalam rangka penelitian. Jarang penulis temui ada anak muda usia sekolah datang ke perpustakaan untuk sekadar tahu bahwa ada naskah kuno disana.
Diri ini membayangkan sebuah naskah akan, katakanlah, berfungsi, jika ia digunakan sebagai media pembelajaran. Bukan tidak mungkin naskah kuno juga akan menjadi sumber atau rujukan belajar sebab banyak nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalamnya. Penulis pikir impian diatas akan benar-benar terjadi ketika ia berada di sekolah.
Pemerintah sebenarnya telah menganjurkan kepada seluruh elemen, khususnya lembaga pendidikan, untuk menggunakan naskah kuno sebagai rujukan belajar. Himbauan tersebut diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Naskah perlu jadi rujukan belajar dan patut untuk diperhatikan. Harapannya, masyarakat indonesia tidak melupakannya dan kembali mempelajarinya.
Penulis pikir Perguruan Muhammadiyah Kotabarat menjadi lembaga pendidikan yang perlu untuk membuka diri terhadap kemungkinan diatas. Gaya mengajarnya yang mencoba mengakomodasi siswa tentu merangsang siswa untuk terus penasaran dan melakukan ide kreatif. Rasa penasaran yang tinggi adalah kunci untuk menuntun siswa mengetahui tentang naskah-naskah kuno yang tersebar di soloraya, khususnya yang tersimpan di kraton. 
Bisa diawali dari kunjungan ke Kraton. Agendakan kunjungan kesana dan usahakan untuk mencoba mengunjungi perpustakaannya. Tujuannya untuk memberi tahu siswa bahwa kraton memiliki perpustakaan yang bisa dikunjungi orang umum. Lalu pustakawan kraton akan menunjukkan beberapa koleksi naskah. Buku-buku yang bertahan dari lembabnya iklim dan pengapnya perpustakaan itu akan membuka dirinya kepada para siswa dan terlihatlah kandungan isi naskah yang tertulis dalam aksara jawi, jawa, maupun pegon. Jika beruntung, para siswa dapat melihat iluminasi atau corak yang menghiasi naskah. Iluminasi yang tergambar terkadang menggambarkan apa yang diceritakan dalam suatu naskah. Biasanya terbuat dari bahan khusus seperti emas atau sepuhan perak.  
Jika siswa sudah mengetahui keberadaan dan kondisi naskah, maka tinggal merangsang siswa untuk aktif mencari dan mempertanyakan naskah itu. Hal yang perlu diketahui seputar naskah seperti bentuk iluminasinya, kertas yang digunakan, penulis naskah, bagaimana cara membuatnya, apa yang ditulis dalam naskah, dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, naskah kuno akan menjadi sumber sekaligus media pembelajaran bagi murid Perguruan Muhammadiyah Kotabarat. Ia akan berfungsi sebagaimana mestinya. Nilai-nilai didaktis yang terkandung akan kembali membumi di masyarakat dan menjadi bagian dari gerak hidup masyarakat itu. Mengapa begitu? Karena pendidikan adalah cara paling ampuh untuk membentuk pribadi individu dan pelan-pelan mengubah kultur masyarakat. 
***
Yogyakarta, 20 Maret 2020
ditulis oleh Sholahuddin Al Ayubi
dalam rangka Milad 2 Dekade
Perguruan Muhammadiyah Kotabarat 

Kamis, 19 Maret 2020

Love Hate Relationship between Me and the Red Jacket.


Masa akhir kuliah, diri ini banyak melakukan refleksi atas apa yang sudah terjadi di masa lampau. 3.5 tahun haha hihi di kota pelajar memberiku banyak kesedihan, kegembiraan, kesempatan, dan kekesalan sebab ditikung konco dewe haaasssh hidup menjadi mahasiswa tidak seindah mulut para motivator expo kampus. 
Mari kuawali dengan kehidupanku yang diwarnai oleh organisasi mahasiswa bernama IMM. IMM, yang memiliki nama panjang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, adalah organisasi otonom milik muhammadiyah di lingkup kampus. Ia hidup di kampus-kampus sebab pangsa pasarnya adalah mahasiswa, baik dari PTN, PTS, maupun PTM. Ia menjadi tempat berhimpun para mahasiswa yang ingin bergerak, menjadi progresif, selalu aktif, turut menumbuhkan jiwa sosial, memperdalam ilmu agama, menimba ilmu dari para tokoh, sampai panjat sosial agar cepat sampai ke hierarki paling tinggi dari struktur sosial masyarakat. Pokoknya macam-macam yang akan kamu lakukan dan dapatkan selama bergiat di IMM.
Nah, IMM di UGM adalah anomali. UGM adalah kampus PTN-BH, IMM adalah entitas resmi Muhammadiyah. Keduanya seakan menggambarkan peribahasa ada rotan ada duri. Mengapa?  Sebab ada batas-batas dimana IMM tidak bisa masuk dalam ranah kemahasiswaan resmi kampus, pun dengan UGM yang tidak bisa serta-merta mengatur gerak langkahnya sebab berhadapan dengan entitas yang sama besarnya (Muhammadiyah -red). Meski begitu, keduanya sama-sama saling ambil untung meski kadang sesekali buntung.
IMM UGM termasuk kedalam organisasi ekstra mahasiswa eksternal. Statusnya tidak diakui kampus. Ia bukan UKM, bukan BSO, bukan pula komunitas. Ia tidak berhak menerima bantuan dana dari kampus, pun menggunakan fasilitas fisiknya. Anehnya, Ia boleh tetap hidup dan berkegiatan asalkan tetap mematuhi peraturan kampus. Ya sudah, gas mlaku loske wae rasah rewel.
Perkenalan awalku dengan IMM UGM bermula dari pesan berantai yang kuterima di grup LINE alumni Muallimin Muallimat Gadjah Mada. Awalnya aku tertarik sebab aku ingin tahu ortom Muhammadiyah ini ngapain aja, sih. Meski awalnya mager, hamba bersyukur kepada kawan bernama Yacub Fahmilda, karib di Sastra Indonesia UGM, yang rela melakukan morning call berkali-kali agar tubuh ini bangun dari dipan menuju ke tempat pertemuan. Oke, mari bertemu di Grha Sabha Pramana (GSP UGM). Pertemuan berlangsung biasa saja. Kenalan, tanya motivasi ikut IMM dan latar belakang pribadi, lalu kumpul tiap klaster berbincang apapun. Lalu pulang. Selepas itu, ya sudah. Begitu saja ga ada apa-apa. 
Pengalaman awalku bergiat di IMM UGM diawali dari baksos di suatu kampung di atas Waduk Sermo Kulon progo pada Idul Adha 2016. Kader yang saya kenal waktu itu adalah Mba Neisha (Fisipol 12), Mas Fatah (SV 13), Mba Amsa (Fisipol 13), Mas Rusli (Filsafat 14), dan Afif (FIB 16). Selama tiga hari disana kami menyembelih hewan qurban, membagi sembako, dan mengadakan sekolah alam bagi anak sekolah dasar. Menyenangkan? Tentu. Impresi seperti itu perlu dirasakan oleh Maba seperti saya.
Setelah itu, hamba masuk ke struktural IMM UGM di bidang Media. Bidang tersebut dikomandoi Mba Amsa (Fisipol 13) dan dibantu Mba Rara (Fisipol 15). Kerjaan saya? Jadi admin sosial media. Yang lain? Bikin caption. Sudah, begitu saja. Selepas itu hamba vakum. 
Dipusingkan dengan event internal jurusan dan fakultas adalah hal pertama yang membuat hamba vakum dari IMM. Yang kedua adalah meningkatnya jabatan publik di lingkup jurusan, fakultas, hingga sekelas UKM universitas dalam satu waktu. Jabatan publik yang tidak main-main sebab diri ini adalah orang kedua di organisasi tersebut. Sedih, tapi harus dilakukan.
Vakumnya hamba dari IMM membuat diri ini sering malas untuk kembali bergiat disana. Angin anginan ikut kajian adalah penyakit pertama yang hinggap. Merasa bosan dengan ceramah yang, bagi hamba pada saat itu, memukul rata semua kajian terlalu normatif dan permisif. Penyakit kedua adalah sebelah mata memandang teman-teman kader tidak memiliki kultur selentur kawan-kawan soshum. Terlalu spaneng, agamis, dan eksklusif adalah citra yang menempel selama tahun kedua dan setengah jalan tahun ketiga kuliah. Waktu itu rasanya kesal sekali menyadari kenyataan bahwa IMM UGM tidak semenyenangkan itu.
Lucunya, hamba masih bertahan, bahkan hingga sekarang. Entah diri ini masokis atau bukan, tapi hamba merasa diri ini belum menyelam terlalu dalam. Hamba pernah berkata kepada alter ego diri, “Wong kita udah basah, ya nyebur aja sekalian.” Maka dari itu, menyelam sampai ke ujung terus hamba lakukan sampai sekarang.
Motivasi lain saat itu, bahkan sedari awal hamba berpakaian putih biru, sebab diri ini berprinsip seperti ini: “kalau ingin mengenal tuhan, cara kawan-kawan nahdliyin adalah suatu kesungguhan. Tapi kalau ingin mengenal manusia, maka cara Muhammadiyah adalah suatu keniscayaan.” diri ini merasa dekat dengan tuhan ketika memakai cara kawan-kawan nadhliyin dengan sholawat bersama habaib, zikir bersama selepas solat berjemaah, hingga ngaji kitab klasik setiap selesai solat. Tapi, hamba akan benar-benar bisa mengenal manusia dengan segala tingkah lakunya lewat Muhammadiyah melalui amal usahanya. Betapa, perangai manusia yang berbeda-beda itu tampak ketika dihadapkan dengan sesuatu yang wujud. 
Syukur, semesta atas izin tuhan yang maha pengasih mengizinkan hamba terus bergiat di IMM sampai sekarang. Merasakan berjuang ikhlas itu bagaimana, mencicipi hidup selo-selo spaneng sebagai pimpinan selama 390 hari, menimba ilmu dari para tokoh yang berhasil mengintegrasikan ilmu agama, ilmu sosial, dan kelurusan akhlak hingga hal-hal lain yang jika hamba tulis bisa jadi topik untuk tiap bab buku otobiografi Sholahuddin Al Ayubi: pikiran dan perbuatan saya (akan terbit kalau sedang otw jadi persiden).
Jadi, Begitulah, kisah hamba bersama IMM UGM. Cinta dan benci yang muncul beriringan setiap berkegiatan di IMM, UGM pula. Kadang Menyenangkan tapi lebih banyak menyedihkan. Memang diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak. Namun, semua itu tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian. Lagi pula, berjuang tidak sebercanda itu, bukan?
***
Ditulis di Yogyakarta, 19 Maret 2020.
untuk Luna DRW
oleh Sholahuddin Al Ayubi
Diiringi lagu “Rehat”-nya Mas Kunto Aji.