Selasa, 13 Juni 2023

Tajussalatin untuk Para Calon Pemimpin

 Sejak usia belasan tahun, saya sering mendengar slogan yang memenuhi media massa dan seminar-seminar dengan ide menyongsong generasi emas. Bila generasi emas yang dimaksud adalah mereka yang lahir pada tahun 1995 ke bawah, maka generasi yang dikemudian hari dikenal sebagai Gen Z dan Gen Alfa inilah yang harus dirawat. Merekalah yang akan mengisi posisi-posisi strategis di indonesia dengan segala potensinya tepat di usia indonesia yang ke 100 tahun.

Sayangnya, Gen Z dan Gen Alfa adalah generasi yang tumbuh besar di era keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi. Mereka terpapar banyak informasi bahkan kebanjiran informasi. Salah satu efeknya, informasi tersebut berhasil menunjukkan betapa culas, zalim, dan payahnya para pejabat di negeri ini dalam mengurusi negara.

Dari situ, muncul sikap apatis anak muda dalam hal politik pemerintahan. Mereka, termasuk saya, beranggapan bahwa negeri ini sudah tidak tertolong. Darurat kepemimpinan. Kalau tidak ditangani segera, bonus demografi akan menjadi angan kosong sebab kita gagal merawatnya menjadi calon pemimpin yang bijak lagi arif.

Lantas, bagaimana caranya menyiapkan Gen Z dan Gen Alfa menjadi calon pemimpin yang arif lagi bijaksana di masa depan? Naskah kuno yang ditulis oleh para leluhur dapat menjadi jawabannya. Menurut Baroroh Baried, teks yang tersimpan dalam naskah memuat informasi penting mengenai adat istiadat, pandangan hidup, moral, hingga politik (1994: 9). Salah satu naskah tersebut adalah naskah Tajussalatin.

Tajussalatin adalah mahkota segala raja yang berisi ajaran tentang kebijaksanaan dalam pemerintahan (Mu’jizah, 2011: 6). Naskah karangan Bukhari Al Jauhari ini ditulis pada abad 16 M. Tujuan naskah ini adalah memberi pedoman bagi raja-raja melayu dan para pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintahan dan lembaga yang dipimpinnya.

Menurut Abdul Hadi, seorang raja yang baik adalah seorang seorang ulil albab. Ia tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Segala tindakan politiknya dikendalikan oleh hikmah, ilmu, dan akal budi (2010: 151). Maka dari itu, ke 24 fasal yang ditulis dalam naskah Tajussalatin memuat pendidikan karakter untuk para calon pemimpin dengan tauhid kepada Allah SWT, meneladani para raja teladan, hingga tata cara pengelolaan pemerintahan.

Saya merekomendasikan kepada Kantor Staf Presiden apabila ingin membangun manusia, mulailah dengan naskah-naskah kuno. Tajussalatin bisa menjadi salah satu acuan. Terlebih, bila kita mengingikan diantara generasi emas tersebut akan muncul seorang pemimpin yang arif lagi bijaksana. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita menengok dan menekuni kembali ajaran leluhur negeri ini.***

Yogyakarta, 10 Juni 2023

"Ditulis untuk syarat Sekolah Staf Presiden 2023

Selasa, 02 Mei 2023

Pasca Festival GAHARU

“Rabu berangkat ya. Bantu acara yang dulu kamu ikuti”

Pesan teman hamba lewat telepon. Ada apa gerangan? Kenapa di sela-sela hamba menganggur, hamba yang papa ini dipanggil ke jogja? Diminta bantu acara yang pernah diikuti pula. Acara apa ya?

Ternyata, acara itu adalah Festival GAHARU. Festival yang mengambil nama pohon tersebut merupakan akronim dari Gerakan Pembaharu. Unik ya? Jelas, wong acaranya juga unik.

Festival GAHARU adalah program milik Ashoka Indonesia. Program ini termasuk bagian dari ‘Gaharu Muda’. Dengan mengusung tagline “Everyone A Change Maker”, Festival GAHARU mencoba meningkatkan potensi anak-anak muda indonesia.

Tahun 2022 yang lalu, hamba pernah mengikuti acara serupa. Waktu itu namanya Festival GAHARU juga. Tapi ada embel-embel ‘Mentor Muda’. Pelatihan yang diadakan secara daring tersebut mengundang seluruh kader muda Muhammadiyah untuk terlibat aktif mendorong perubahan pendidikan di indonesia. Kami-kami inilah yang nanti akan menjadi mentor cum fasilitator baik untuk diri kami sendiri dan anak-anak muda indonesia.

Acara yang hamba ikuti tahun 2022 waktu itu keren meski diadakan secara daring. Tak disangka, versi luringnya lebih keren. Festival GAHARU tahun 2023 mengambil tempat di Kaliurang Yogyakarta. Ashoka Indonesia mengundang 24 sekolah muhammadiyah dari seluruh indonesia untuk berkumpul dan berdiskusi di Kaliurang Yogyakarta.

Hamba di Festival GAHARU berperan sebagai co-fasilitator. Selama festival berlangsung, hamba menyaksikan antusiasme para peserta yang terdiri dari guru dan murid dari 24 sekolah muhammadiyah se-indonesia. Guru dan Murid, lewat peran fasilitator dan co-fasilitator, didorong untuk saling berdiskusi dan berinteraksi satu sama lain. Sekat antara guru dan murid coba dilebur agar tidak ada perasaan canggung meski tetap dalam taraf sopan santun.

Selama mengikuti Festival GAHARU, hamba menyadari bahwa generasinya sudah berbeda. Kalau dibanding dulu, generasi sekarang memang agak lain. Hamba mendapati beberapa hal.

Murid-murid jaman sekarang cenderung kritis. Mereka berani untuk mengutarakan pendapat yang ada di kepala mereka. Terkadang, mereka sering menyatakan ketidaksetujuannya. Semisal, peraturan sekolah yang dianggap merugikan murid dalam berekspresi. Agar aspirasi dipenuhi, mereka mendorong pihak sekolah agar membuka dialog agar ditemukan jalan tengah antara keinginan murid dan pihak sekolah.

Sikap seperti ini baru untukku. Di masa lalu, orang-orang yang kritis seperti itu dicap “rebel” dan jadi sasaran guru BK untuk ‘ditertibkan’. Sekarang, orang-orang rebel makin banyak karena mereka senasib sepenanggungan. Bahkan, mereka pintar untuk bersiasat dengan cara mengajak sekolah untuk berdialog agar ada jalan tengah. Fenomena yang bagus, pikir hamba.

Guru-guru jaman sekarang juga lebih terbuka. Terbuka disini bisa diartikan dalam banyak hal. Tapi pada momen ini, kata terbuka aku gunakan untuk mewakili sikap mereka dalam menerima gagasan dan perilaku baru. Semisal, gagasan agar melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar. Guru mengajak siswa untuk bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang baik. siswa didorong untuk aktif terlibat dalam proses penyusunan kurikulum agar kelas berjalan menyenangkan dan mampu mengeluarkan potensi terbaik mereka. Guru juga lebih bisa menerima perilaku baru dalam penggunaan teknologi misalnya. Anak jaman sekarang yang termasuk golongan ‘digital native’ haruslah diarahkan dengan benar. kolaborasi murid, gadget, dan guru ditingkatkan agar penerimaan ilmu pengetahuan dapat berjalan dari berbagai arah disertai dengan timbal balik yang bagus. Para guru jaman sekarang percaya bahwa dengan arahan yang baik, penggunaan teknologi dapat benar-benar bermanfaat untuk proses belajar mengajar.

Selama festival GAHARU berlangsung, interaksi antara guru dan murid menjadi titik utama dari pelatihan ini. Guru dan murid didorong untuk saling bahu membahu dalam mewujudkan ide dan gagasannya. Lewat konsep 5R ala Ashoka Indonesia, Guru dan Murid mengidentifikasikan potensi masing-masing sekaligus sekolah mereka. Riuh rendah suara guru dan murid yang berinteraksi membuat aku bergidik takjub. Antuasiasme terpancar dari mata mereka ketika berdiskusi. Nampak ada yang ngotot dalam menyampaikan ide, ada yang tertawa mencoba bercanda, ada yang termehek-mehek menceritakan kesulitan mereka dalam bersekolah, semua campur baur jadi satu demi sekolah yang lebih menyenangkan.

Semua itu menjadi semakin baik ketika para peserta Festival GAHARU diberi tips mengenai Story Telling. Tips ini diberikan langsung oleh Kak Amelia Hapsari, sineas asal Semarang yang menjadi Juri Oscars untuk wilayah Asia Tenggara. Kak Amelia Hapsari memberikan contoh bagaimana sebuah pengalaman hidup dapat bernilai lebih apabila disampaikan melalui story telling yang kuat. Renik-renik kehidupan yang kadang dianggap sepele dan biasa saja bisa menjadi sesuatu yang wow apabila kita pintar mengolahnya. Apalagi, dengan kekuatan media sosial, orang-orang dapat mudah tersentuh pengalaman yang kita rasakan karena terasa hidup lewat story telling.

Guru dan siswa yang ada di situ manggut-manggut mendengar pemaparan dari Kak Amelia Hapsari. Saat sesi tanya jawab, mereka menyampaikan pertanyaan yang hampir serupa. Sebagian besar dari mereka adalag orang eksak dan menganggap keterampilan story telling, baik lewat tulisan maupun lisan, hanya dimiliki mereka yang berasal dari ilmu sosial. Mindset ini ternyata tidak hilang bahkan sampai sekarang. Bahwa ada perbedaan antara yang eksak dan sosial membuat cara pandang masing-masing menjadi bias. Bagi hamba, mindset ini membuat kita terjebak pada satu cara dan menafikan cara lain. Padahal, sebagai manusia, tidak ada salahnya dalam mempelajari hal lain nan baru dan berbeda. Anak eksak tidak selamanya gagap dalam seni, pun anak sosial juga tidak terlalu payah dalam memahami ilmu sains. Keduanya hanyalah soal minat ala sistem lama, sedangkan potensi manusia masih bisa diasah selamanya. Semua bisa dipelajari asal mau dan berusaha.

Acara yang berjalan selama 3 hari ini berakhir di Hari Jum’at. Guru, siswa, dan kakak-kakak pendamping yang terlibat terlihat senang. Nampak raut muka penuh percaya diri setelah berhasil meningkatkan diri lewat Festival GAHARU. Lewat mata mereka, terpancar keyakinan bahwa masa depan Indonesia akan cerah. Acara yang diadakan Ashoka Indonesia ini bisa dibilang sukses besar. Hamba percaya, mereka bisa menjadi sosok pembaharu selanjutnya di daerah masing-masing.

Sukoharjo, 2 Mei 2023

Jumat, 14 April 2023

Pasca Baca: Menambah Keimanan dengan Menangkap Ikan-ikan dari Laut Merah

Dalam dunia sastra, ada satu keyakinan bahwa ketika seseorang membaca, menonton, menikmati atau apapun itu dengan karya sastra, dia sedang menjalani laku katarsis. Menurut yang punya teori, katarsis mempunyai arti penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan. Kelegaan emosional itu terjadi setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis yang ada dalam suatu karya sastra. Proses penyucian diri seperti itu bagi hamba adalah cara untuk melepaskan diri dari penatnya dunia.

Hamba selalu suka novel-novel realis yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Cerita tentang rakyat jelata, kesusahan hidup, dan masalah-masalah duniawi adalah air yang menyucikan. Ia membilas noda noda hitam yang ada pada diri.

Kali ini Danarto menyucikan hamba. Sastrawan yang namanya hamba kenal di ruang-ruang kelas kini hamba temui dalam wujud baris baris tulisannya. Buku yang membasuh jiwa itu berjudul ‘Ikan-ikan dari Laut Merah’. Lewat kumpulan cerpen bersampul merah itulah, ia mengajak hamba menyelami ide-ide Danarto yang konon katanya penuh nilai-nilai sufistik.

Danarto di permulaan cerpen mengajak pembaca untuk mengenali apa itu kematian. Bagi kita yang masih hidup, rasa-rasanya ngeri sekali mendengar kata mati. Kematian bagi orang-orang adalah akhir dari kehidupan. Tapi bagi Danarto, justru kematian adalah cara untuk mengenal diri sendiri dan kuasa Tuhan. Dalam hal mengenal diri sendiri misalnya, jika ada manusia yang merasa suci, ia mungkin tidak pantas jadi malaikat. Sebab orang perlu dicuci dulu di neraka baru bisa mencapai surga. Sedangkan malaikat sendiri tidak pernah mencicipi neraka, apalagi berbuat dosa. Di sini Danarto mengajak pembacanya untuk merenungi sekali lagi nilai seorang manusia di dunia.

Pada sebuah cerpennya yang lain, Danarto pernah berujar,

“Kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. … dalam kematian bernafas lebih lega. Beban berat di hati terpunggah. Penderitaan hidup lenyap. Kematian telah memindahkan kesadaran ke alam lain. Kesedihan adalah penderitaan. Kematian bukan kesedihan. ” (cerpen Jantung Hati, Hlm 17)

Kematian yang membuat takut mereka yang masih hidup diputarbalikkan oleh Danarto sebagai sesuatu yang menyenangkan. Perasaan lega dan tanpa hambatan setelah mati bagi Danarto patut disyukuri sebab hidup di dunia beratnya minta ampun. Seakan-akan Danarto mencoba mengatakan jika hidup setelah kematian itu sejatinya tidak ada beban sama sekali. Oleh sebab itu, seorang manusia harus siap menghadapi kematian dengan tanpa beban.

Danarto mengajak pembacanya untuk percaya kepada kuasa tuhan yang sering menimbulkan tanda tanya dalam hati. Tengoklah cerita sebuah keluarga yang hidup di atas sebuah bukit. Mereka tidak pernah kekurangan apa-apa. Hidup mereka tanpa cobaan sebab mereka berlaku lurus-lurus saja. Mereka menikmati sekali apa-apa yang terjadi dalam kehidupan tanpa pernah bertanya kenapa sebab mereka percaya akan Allah Swt. Alangkah terkejutnya keluarga itu ketika diberi kiriman ikan-ikan yang jatuh dari langit dalam jumlah besar. Keluarga yang tidak pernah mempertanyakan takdir Tuhan ini menerima saja limpahan berkah dari-Nya tanpa mengetahui bahwa di bawah kaki bukit itu suatu kota sedang dijungkirbalikkan.

Membaca karya Danarto juga bisa dianggap sebagai perjalanan spiritual. Kesan tersebut dapat ditangkap lewat cerpen 'O, Yerusalem!' Bercerita soal perjalanan ke kota suci tiga agama samawi. Gereja Nativity, Masjidil Aqsha, dan Qubbat Al-Sakhrah disebutkan secara gamblang dalam cerita. Seakan mengajak pembacanya untuk turut mengalami perjalanan yang ditempuh oleh si tokoh dalam cerita. Imaji pembaca digugah lewat guratan rima ala Danarto dengan apik hingga hamba sendiri merasa kesadaran spiritual meningkat.

Kesadaran spiritual pembaca kemudian akan tergugah ketika sampai di cerpen 'Pohon Zaqqum'. Nama pohon yang tidak asing bagi umat muslim yang mengenalnya lewat kelas-kelas TPQ. Pohon yang di akhir zaman akan menimbulkan kebingungan di antara manusia oleh Danarto diberikan gambaran yang cukup menarik. Pohon Zaqqum yang melahap manusia ini dijaga betul agar dapat diteliti oleh Ilmuwan yang penasaran dengannya. Sedang masyarakat yang cemas dan frustasi melawan para ilmuwan tersebut. Seolah, Danarto ingin menyampaikan kepada pembacanya seperti inilah kondisi umat manusia di akhir zaman. Kebenaran dan kebatilan tidak ada bedanya. Hanya orang-orang terpilih saja yang dapat membedakan itu.

Renik-renik cerita yang ditampilkan oleh Danarto dalam kumpulan cerpennya seolah ingin menunjukkan bahwa terkadang hidup ini adalah sebuah tanda tanya yang panjang. Segala tindak tanduk kita di dunia ini tidak akan ditemui jawabannya karena nilai manusia ada di akhir. Maka dari itu, manusia hanya perlu terus berusaha dan percaya. Bagi hamba, membaca kumpulan cerpan ‘Ikan-Ikan dari Laut Merah’ seperti menambah keimanan kepada yang kuasa lewat karya tulis manusia.

***

Surakarta, 14 April 2023

oleh Sholahuddin Al Ayubi