Selasa, 17 Desember 2019

Yang Mengklitih Tidak Peduli, Yang Diklitih Juga Abai.


“Ya sini, 5 menit dah harus sampai.”
Kalimat tersebut membuatku gelap mata. Saking gelapnya, jalan berlubang sepanjang jalan kuterjang begitu saja. Berkali-kali motor ini melompat-lompat mengikuti kontur jalan yang tidak rata. Tangan ku pun lincah mengarahkan motor mencari jalan termulus agar usaha menjemput dia turut mulus juga. 
Aku tiba dalam 5 menit di depan indekosnya tanpa kurang suatu apa. Kejadian setelahnya bisa ditebak: bertemu, bertatap muka, bertukar senyum, menyapa ala kadarnya, dan menanyakan kabar. Wow, pertemuan singkat yang oke tapi hatiku ingin sekali teriak, “kesuen, ayo nonton teater!”
Motor menderu menembus gerimis. Tangan ini sibuk mengatur gas motor untuk melibas lautan manusia-manusia bucin di jalanan jogja nan sempit. Tak peduli basah, yang penting kami tidak kehilangan banyak scene pementasan. 
Kami tiba di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja di bilangan Kasihan, Bantul. Kehadiran kami disana untuk menyaksikan Jagongan Wagen edisi Bulan Desember 2019. Pementasan sebulan sekali itu aku ketahui dari sosial media. Pada poster yang tersebar di dunia maya, Pementasan tersebut berjudul “Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari”, dengan serigala sebagai latar posternya. Sejujurnya, aku penasaran, apa hubungan judul dengan serigala. 
Pentas sudah berjalan 15 menit saat kami mendudukkan pantat diatas tikar. Saat itu, seorang aktor bertopi flat cap sedang berdialog dengan para penonton. “Ini tuh pentas teater apa stand up comedy sih, al?” tanyanya kepada ku yang masih mencerna keadaan. Hmm, rupanya adegan diatas panggung, sepertinya, memang disetting untuk melibatkan penonton sebagai aktor cum pengalam yang turut menghidupkan jalan cerita. Dialog begitu lancar, penonton juga merespon dengan aktif. Memang, saat itu sang aktor sedang berlagak menjadi seorang guru yang memberi pertanyaan-pertanyaan seputar sekolah dan jalan cerita pementasan hari ini. Berani juga untuk melibatkan penonton dengan dialog seperti ini, pikirku. 
Sang aktor bertopi tersebut berganti peran. Jaket yang ia kenakan tadi berubah fungsi menjadi kerudung. Ia menjadi seorang ibu, tepatnya ibu rumah tangga yang kehilangan. Dengan mengulek cabai, ia bercerita mengenai Andi, anak satu-satunya, yang lebih sering tinggal di jalanan ketimbang di rumah. Sang ibu bercerita tentang hubungan andi dan keluarga, tentang masa lalu anaknya, dan seringnya ia didatangi polisi. Setiap polisi hadir, andi kemudian selalu menghilang, Berhari-hari, berbulan-bulan. Kata yang keluar dari mulut sang ibu menggambarkan keadaan sebenarnya, membawa emosi nan sarat makna, yang membuat penonton pelan-pelan memahami jalan cerita. Sang aktor berhasil menjiwai sosok ibu yang menanggung beban anak buronan polisi. 
Awalnya, aku kira pementasan kali ini adalah pentas monolog. Ternyata, sang aktor bertopi tidak sendirian. Andi akhirnya muncul. Ia menceritakan masalahnya. Menceritakannya di talkshow yang dipandu sang pria bertopi yang sudah berganti peran menjadi pemandu acara. Transisi penjiwaan perannya sangat halus! Emosi diatas panggung berhasil terjaga. Dialog antar aktor membawa emosi yang saling mendukung dan membuat suasana panggung cocok untuk mengungkap cerita selanjutnya. Salut sekali!
Cerita selanjutnya mengalir begitu saja: bahwa andi seorang begal, tukang klitih nomor wahid, dengan jam terbang klitih tinggi diiringi dengan segudang prestasi klitih nan mentereng. Ia memulainya sejak remaja. Embrio “gali”-nya muncul sejak dari sekolah dasar, dengan berkelahi menantang gurunya sendiri. Pikirku, memang sangar bocah ini! 
Pementasan sampai pada puncaknya ketika sesi dialog dibuka. Penonton bebas menanyakan apa saja ke andi. Sungguh, pementasan ini keren sebab ia berani membawa penonton untuk terlibat lebih jauh. Secara acak peserta melontarkan pertanyaan ke andi. Mulai dari kapan nglitih, kapan mulai membunuh orang, jumlah korban yang diklith, kenapa nglitih, rasanya nglitih, dan hal-hal perklitihan yang perlu dikupas. Jawaban andi membuat penonton terhenyak sebab ia menjawab dengan mantap, seakan-akan menyatakan bahwa ia bangga mengklitih orang dan tidak akan berhenti.
Andi kemudian balik bertanya kepada penonton. Bertanya secara acak tentang apapun. Tentang ia, tentang gengnya, tentang klitih, hingga tentang hal paling normatif soal solusi. Bahwa klitih bagi penonton adalah sesuatu yang negatif, menimbulkan kerusakan materil juga moril, dan meresahkan sebab mampu menghilangkan nyawa orang. Bahwa pelaku klitih adalah seorang berandalan yang beringas, susah diatur, jauh dari tuhan dan akrab dengan kemaksiatan. Bahwa perilaku klitih adalah kejahatan, sesuatu yang amoral, menggangu kenyamanan.  Bahwa klitih perlu dihapuskan.
Sayangnya, kita tidak sadar bahwa klitih itu ekspresi. Bahwa klitih adalah sesuatu yang negatif sebab ia adalah bentuk perlawanan terhadap ketiakadilan. Ketidakadilan akan pemerataan kesejahteraan, ketidakadilan akan akses untuk tinggal dan hidup bersama dengan tenang dan nyaman, ketidakadilan akan sistem yang sewenang-wenang. Bahwa pelakunya benar terganggu secara psikis sebab masa kecilnya yang tidak seindah cerita orang. Hidup dibawah bayang-bayang perceraian orang tua, ketidakharmonisan keluarga, hingga hidup susah sebab akses akan ekosospolbud yang sulit digapai. Bahwa benar perilakunya lekat dengan tindakan amoral sebab lingkungan sosialnya gagal untuk memahamkan norma-norma, tentang yang benar dan salah, pun nilai-nilai keagamaan yang utuh lagi menyejukkan. 
Sungguh, pasca pementasan, aku baru benar-benar sadar bahwa selama ini kita sama-sama mementingkan ego kita masing-masing. Yang mengklitih tidak peduli akan nasib kita, pun yang diklitih juga abai akan hak yang selama ini kita renggut dari dirinya. Permasalahan klitih rumit sejak dari pikiran kita masing-masing. 
Lantas, bagaimana solusinya? Entahlah. Kami saja, selepas pementasan, terlibat pembicaraaan panjang mengenai itu. Gagasan kami sama-sama tidak ketemu meski sudah sama-sama ngotot sepanjang jalan pulang. Yang jelas, menghilangkan perilaku klitih membutuhkan kerja kemanusiaan yang sangat panjang.
Bulaksumur, 16 Desember 2019
***
* Ulasan atas pentas Jagongan Wagen “Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari.”
** Penulis: Sholahuddin Al Ayubi (FIB UGM 2016)

Kamis, 19 September 2019

Mencari Makam Kuno di Hutan Sentangau


‘’esok sabtu ikut bapak, tengok batu nisan yang tumbuh seperti pohon,” ucap pak ating kepadaku. Aku terdiam. Sebuah pengakuan yang sangat mengejutkan disela-sela pakatan[1] warga kumba  meluncur dari mulut salah satu orang yang tahu persis dimana letak makam itu.

Disela-sela pakatan warga kumba, aku, pak ating, dan abang karim memang terlibat obrolan serius. Kami bertiga membicarakan sejarah nusantara, khususnya kesultanan sambas. Awal mula berdirinya, keterkaitan antara kesultanan sambas dengan kerajaan lain, hingga siapa saja keturunannya kami bicarakan didalam tarub[2] yang terpasang di depan rumah empunya acara pernikahan.

Dari obrolan terbitlah celetukan, dari celetukan terucapkanlah janji. Aku dan pak ating sepakat untuk pergi ke tempat dimana makam itu berada. Hari sabtu dipilih sebagai hari ditunaikannya janji.

Hari yang ditunggu tiba. Kami berdua pergi ke Hutan Sentagau[3], tempat dimana makam tersebut berada. Motor roda dua kami pilih untuk mengantarkan kami ke lokasi sebab bangkung[4] tidak memungkinkan untuk digunakan disaat air sungai kering seperti musim sekarang.

Perjalanan ke Hutan Sentagau memakan waktu 30 menit. Jalan yang dilalui motor kami sangat buruk. Medan jalan berbukit-bukit. Perjalanan juga terasa berat sebab tanah lempung dan bebatuan yang menghadang laju roda. Becek di kanan kiri menyebabkan kami terjerembab beberapa kali.

Kami tiba di lokasi. Makam tersebut terletak di sebuah bukit. Bukit tersebut dikelilingi oleh hutan sawit milik sebuah perusahaan transnasional. Menariknya, bukit tempat makam tersebut berada ditemukan berdasarkan pohon durian yang menjulang gagah diantara rimbunnya pepohonan di bukit tersebut. Bagi pak ating, keberadaan pohon tersebut penting sebab banyak perbukitan yang ada di lokasi tersebut. Pohon durian menjadi pembedanya.

Untuk menuju ke makam, lebatnya semak dan ranting pohon yang menjuntai harus kami terjang. Ketiadaan parang menyulitkan langkah kami menuju kedalam. Berhati-hatilah terhadap akar pohon, salah-salah dia juga bisa mencelakakan kakimu. 

Cukup sulit untuk menemukan makam tersebut. Dedaunan yang menempel di ranting-ranting pohon mengaburkan pandanganmu. Batang pohon yang berlumut juga menyamarkan matamu dalam membedakan mana pohon mana batu. Kami sempat berputar-putar mencari lokasi pasti makam tersebut. Ingatan pak ating tidak bisa diandalkan sepenuhnya sebab tidak ada tanda pasti dimana makam itu berada.

Pencarian 10 menit tersebut menemui titik temu. Sebuah nisan berbatu ditemukan diantara dua pohon. Nisan lain juga ditemukan, tertimbun batang pohon yang entah bagaimana batangnya tumbuh tepat di tengah-tengah kuburan.

“Disini seharusnya ada empat makam, cukup sulit mencari yang lain apalagi kondisi (lebat) seperti ini,” aku pak ating. Kami kemudian mencari dua makam lain yang konon katanya berdekatan dengan lokasi dua makam yang kami temukan sebelumnya. Lama kami berputar-putar, ketemulah jua apa yang kami cari.

Dua makam lainnya berjarak sepelemparan batu dari makam pertama. Mereka terlindung semak-semak. Posisi kedua kubur membujur ke arah yang sama.

Yang membedakan antara makam yang pertama ditemukan dengan makam kedua adalah bentuk nisannya. Pada makam pertama, bentuk batu nisannya berbentuk setengah tabung. Cekung di depan dan rata di belakang. Sedangkan untuk makam kedua bentuk nisannya lonjong. Nisan lonjong tersebut meruncing ke atas. Itulah kenapa pak ating menyebut nisannya tumbuh seperti pohon, sebab bentuknya memang seperti akan tumbuh.

Sayangnya, tidak ada keterangan siapa yang terkubur didalamnya. Batu nisan yang berdiri pun bungkam. Tidak ada tulisan yang terukir di permukaannya. Prasasti pun sulit kami cari sebab ranting dan semak yang menghalangi.

Menurut pak ating, mereka yang bersemayam di tanah ini masih satu keluarga dengan kesultanan sambas. Sebab mereka bisa sampai ke hutan sentagau adalah jepang. Pada masa itu, orang-orang jepang ingin membantai habis seluruh keluarga kerajaan

sambas. Keluarga istana pun cepat-cepat mengungsikan dirinya ke dalam hutan.

Mereka bertahan di dalam hutan. Sebuah bangunan layak huni dibangun. Barang-barang kerajaan yang penting disimpannya disana. Sebuah perkebunan dibuka di tanah itu demi memberi hidup perut yang tinggal. Sapi-sapi yang dibawa dari sambas pun diternakkan pula disana. Mereka di dalam hutan hingga jepang angkat kaki dari tanah sambas.

Setelah jepang angkat kaki, mereka kembali ke istana. Barang-barang kerajaan dikembalikan ke istana. Pejabat-pejabat istana yang ikut lari dipulihkan jabatannya. Sapi-sapinya? Mereka ditinggal di dalam hutan. Konon katanya, sapi yang pernah diternakkan dan sengaja dilepas setelah keadaan aman, kini menjadi sapi hutan. Mereka dilepasliarkan di dalam hutan.

Begitulah. Makam kuno tersebut tetap penuh misteri. Siapa yang terbaring didalamnya tidak diketahui rimbanya. Hutan sentagau tetap menjaga makam kuno itu dengan segala daya upayanya. Menjadikan keping masa lalu kesultanan sambas tetap pada tempatnya.

***



[1] Pakatan: musyawarah dalam masyarakat melayu Sambas sebelum mengadakan pesta pernikahan. Biasanya membahas teknis acara beserta kelengkapannya.
[2] Tarub: tenda pernikahan. Biasanya terbuat dari kayu dan ditutup terpal plastik.
[3] Hutan Sentangau: salah satu hutan ditepi aliran Sungai Sentagau yang berada di Dusun Sindang Kasih, Desa Kumba, Kecamatan Jagoi Babang, Kalimantan Barat.
[4] Bangkung: Perahu berukuran besar dengan ujung depan berbentuk runcing. Digerakkan oleh mesin motor di bagian belakang.

Senin, 25 Maret 2019

Propaganda dengan Cara yang Indah

Muntah darah disertai dahak menjadi kegiatan sehari-hari pasien TBC. Bakteri mycrobacterium tuberculose yang menyebabkan itu semua senang bermukim di paru-paru manusia, tempat dimana dahak dan muntah darah itu berasal. Mereka yang terkena TBC harus rela pergi ke tempat bernama sanatorium.

Mereka sehari-hari bermukim di suatu villa diatas dataran tinggi. Wilayah yang sejuk itu terbatas untuk dijangkau orang sehat sebab menjadi tempat segala proses penyembuhan. Pasien disana sabar menghitung saat-saat pembebasan yang dapat berlangsung dalam hitungan bulan.

Penyakit epidemie yang masih menjadi 10 penyakit paling mematikan di dunia ini masih betah tinggal di Indonesia. Penyebarannya melalui udara menyebabkannya bebas hinggap di sistem pernafasan insan sehat yang bisa dihinggapinya. Hebatnya, manusia tidak berhenti untuk menghambat kebebasan penyakit itu dengan berbagai cara.

Video, brosur, infografis, dan segala media yang menarik mata manusia bertebaran di dunia nyata maupun dunia Maya. Bisa dipastikan, setiap hari banyak manusia melancarkan propaganda bahaya TBC. Maka dari itu, hamba sebagai makhluk tuhan yang percaya #sharingiscaring mencoba memberi alternatif propaganda.

Cobalah sastra. Suatu media yang menggunakan bahasa untuk menumbuhkan daya imajinatif bagi pembacanya. Jarang penulis temui ada orang yang menggunakan media ini untuk mencegah TBC, kecuali Motinggo Busye. Penulis asal lampung pernah mengambil cerita dari pasien TBC yang merana dalam cerpen “badai sampai sore”. Gambaran kehidupan sanatorium nyata disana. Pembaca yang tidak tahu mengenai TBC pelan-pelan sadar kondisi tersebut.

Atau mungkin puisi. TBC yang mengerikan bisa tersampaikan pesan bahaya nya melalui untaian kata yang indah. Seperti,

Uhuk, uhuk,
Darah hitam lagi
untuk kesekian kali
Jadi pertanda
Besuk mu yang terakhir

Cobalah. Siapa tahu bisa mengubah dan menggugah masyarakat agar sadar. Goreskan pena gerakkan perubahan.

Yogyakarta, 24 Maret 2019
Sholahuddin Al Ayubi

Jumat, 15 Maret 2019

MENTARI TERBENAM DI GSP

Kata joko pinurbo, jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Maka tidak heran apabila Yogyakarta memilih slogan yogya berhati nyaman karena kota ini menawarkan kehidupan kota yang sangat berbeda. Jogja memiliki iklim yang akan membuat siapapun yang singgah di kota ini ingin selalu kembali karena kenyamanan yang dihadirkannya.

Siapapun yang pernah tinggal di kota ber-plat AB ini sepakat bahwa jogja memang nyaman. Dengan sudut-sudut kotanya yang memiliki nilai budaya dan historis membuat Jogja memiliki daya tarik tersendiri. Geliat pariwisata di kota ini juga cukup besar dengan posisinya yang selalu unda-undi dengan Provinsi Bali sebagai daerah dengan destinasi wisata terbaik.

Orang akan memilih banyak hal agar membuat dirinya kembali bahagia. Kadar bahagia itupun bisa berbeda-beda, bisa menyegarkan pikiran, membuat sehat badan, atau membuat baper hati yang kasmaran. Semua cara ditempuh agar tubuh kembali segar dan penuh semangat.

Sebagai orang yang tinggal di kota besar seperti Yogyakarta, kebutuhan akan olahraga sangatlah penting. Fisik yang sehat dan prima akan menunjang dalam bekerja maupun berkegiatan. Bahkan, mereka yang lebih sering duduk menghadap laptop juga perlu melihat pemandangan lain agar mata mereka tidak jenuh menatap layar datar.
   
Maka dari itu, keluar adalah jalan satu-satunya. Menikmati indahnya kota jogja tanpa harus mewah. Bahkan pergi ke tempat yang murah sudah terasa istimewah, hehehe 

Salah satu sudut terbaik untuk menikmati Yogyakarta adalah di Grha Sabha Pramana, tepatnya, di dudukan tangga yang menghadap langsung lapangan Grha Sabha Pramana. Dudukan tangga berbentuk melengkung ini sering kali dipakai oleh masyarakat Yogyakarta, terutama kawula muda kota pelajar, sebagai tempat “piknik” yang asyik. 

Mereka yang berada di GSP menikmati piknik dengan cara berolahraga. Setiap sore, tempat yang berlokasi di Komples Universitas Gadjah Mada menjadi pusat kebugaran masyarakat. Betapa tidak? Semua golongan tumpah di jalan hanya untuk mencari keringat. Jogging memutari GSP menjadi ibadah wajib yang perlu dilakukan.

Dudukan GSP pun ramai oleh orang-orang. mulai dari muda-mudi yang asyik bermesraan bercengkerama dengan pasangannya, rombongan keluarga yang duduk santai sekadar melepas penat dari tututan pekerjaan, pun mahasiswa yang berjalan kaki tuk melemaskan badan setelah berhari-hari terjerat makalah. 

Duhai mahasiswa, disinilah letak menariknya dari kegiatan yang disebutkan diatas. Apabila jam sudah menunjukkan pukul 17.00, maka keadaan mulai berbeda. Manusia-manusia yang duduk melepas  penat di bangku GSP akan menyaksikan pertujukan rona cahaya senja yang sangat indah.

Senja tidak pernah berbohong, begitu kata teman saya. Setiap kali, bila memang tepat waktunya, langit jogja bagian barat akan terlihat sangat menyenangkan mata. Gradasi warna di langit akibat tergelincirnya mentari di ufuk barat menambah indah langit sore kota jogja. Siapapun yang menyadari momen tersebut tidak akan membuang kesempatan untuk memotretnya. 

Momen seperti inilah yang tidak patut dilewatkan. Setiap rona itu muncul, maka GSP akan menjadi tempat paling romantic di jogja. Suasananya yang tenang dengan tanah lapangnya yang dikelilingi pepohonan rindang. Benar-benar memanjakan mata manusia yang melepas penat disana.

Maka, adakah engkau sungkan menolak ajakanku untuk jogging sembari menikmati mentari yang terbenam di GSP, hai temanku?

*Ditulis oleh Sholahuddin Al Ayubi