Senin, 25 Maret 2019

Propaganda dengan Cara yang Indah

Muntah darah disertai dahak menjadi kegiatan sehari-hari pasien TBC. Bakteri mycrobacterium tuberculose yang menyebabkan itu semua senang bermukim di paru-paru manusia, tempat dimana dahak dan muntah darah itu berasal. Mereka yang terkena TBC harus rela pergi ke tempat bernama sanatorium.

Mereka sehari-hari bermukim di suatu villa diatas dataran tinggi. Wilayah yang sejuk itu terbatas untuk dijangkau orang sehat sebab menjadi tempat segala proses penyembuhan. Pasien disana sabar menghitung saat-saat pembebasan yang dapat berlangsung dalam hitungan bulan.

Penyakit epidemie yang masih menjadi 10 penyakit paling mematikan di dunia ini masih betah tinggal di Indonesia. Penyebarannya melalui udara menyebabkannya bebas hinggap di sistem pernafasan insan sehat yang bisa dihinggapinya. Hebatnya, manusia tidak berhenti untuk menghambat kebebasan penyakit itu dengan berbagai cara.

Video, brosur, infografis, dan segala media yang menarik mata manusia bertebaran di dunia nyata maupun dunia Maya. Bisa dipastikan, setiap hari banyak manusia melancarkan propaganda bahaya TBC. Maka dari itu, hamba sebagai makhluk tuhan yang percaya #sharingiscaring mencoba memberi alternatif propaganda.

Cobalah sastra. Suatu media yang menggunakan bahasa untuk menumbuhkan daya imajinatif bagi pembacanya. Jarang penulis temui ada orang yang menggunakan media ini untuk mencegah TBC, kecuali Motinggo Busye. Penulis asal lampung pernah mengambil cerita dari pasien TBC yang merana dalam cerpen “badai sampai sore”. Gambaran kehidupan sanatorium nyata disana. Pembaca yang tidak tahu mengenai TBC pelan-pelan sadar kondisi tersebut.

Atau mungkin puisi. TBC yang mengerikan bisa tersampaikan pesan bahaya nya melalui untaian kata yang indah. Seperti,

Uhuk, uhuk,
Darah hitam lagi
untuk kesekian kali
Jadi pertanda
Besuk mu yang terakhir

Cobalah. Siapa tahu bisa mengubah dan menggugah masyarakat agar sadar. Goreskan pena gerakkan perubahan.

Yogyakarta, 24 Maret 2019
Sholahuddin Al Ayubi

Jumat, 15 Maret 2019

MENTARI TERBENAM DI GSP

Kata joko pinurbo, jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Maka tidak heran apabila Yogyakarta memilih slogan yogya berhati nyaman karena kota ini menawarkan kehidupan kota yang sangat berbeda. Jogja memiliki iklim yang akan membuat siapapun yang singgah di kota ini ingin selalu kembali karena kenyamanan yang dihadirkannya.

Siapapun yang pernah tinggal di kota ber-plat AB ini sepakat bahwa jogja memang nyaman. Dengan sudut-sudut kotanya yang memiliki nilai budaya dan historis membuat Jogja memiliki daya tarik tersendiri. Geliat pariwisata di kota ini juga cukup besar dengan posisinya yang selalu unda-undi dengan Provinsi Bali sebagai daerah dengan destinasi wisata terbaik.

Orang akan memilih banyak hal agar membuat dirinya kembali bahagia. Kadar bahagia itupun bisa berbeda-beda, bisa menyegarkan pikiran, membuat sehat badan, atau membuat baper hati yang kasmaran. Semua cara ditempuh agar tubuh kembali segar dan penuh semangat.

Sebagai orang yang tinggal di kota besar seperti Yogyakarta, kebutuhan akan olahraga sangatlah penting. Fisik yang sehat dan prima akan menunjang dalam bekerja maupun berkegiatan. Bahkan, mereka yang lebih sering duduk menghadap laptop juga perlu melihat pemandangan lain agar mata mereka tidak jenuh menatap layar datar.
   
Maka dari itu, keluar adalah jalan satu-satunya. Menikmati indahnya kota jogja tanpa harus mewah. Bahkan pergi ke tempat yang murah sudah terasa istimewah, hehehe 

Salah satu sudut terbaik untuk menikmati Yogyakarta adalah di Grha Sabha Pramana, tepatnya, di dudukan tangga yang menghadap langsung lapangan Grha Sabha Pramana. Dudukan tangga berbentuk melengkung ini sering kali dipakai oleh masyarakat Yogyakarta, terutama kawula muda kota pelajar, sebagai tempat “piknik” yang asyik. 

Mereka yang berada di GSP menikmati piknik dengan cara berolahraga. Setiap sore, tempat yang berlokasi di Komples Universitas Gadjah Mada menjadi pusat kebugaran masyarakat. Betapa tidak? Semua golongan tumpah di jalan hanya untuk mencari keringat. Jogging memutari GSP menjadi ibadah wajib yang perlu dilakukan.

Dudukan GSP pun ramai oleh orang-orang. mulai dari muda-mudi yang asyik bermesraan bercengkerama dengan pasangannya, rombongan keluarga yang duduk santai sekadar melepas penat dari tututan pekerjaan, pun mahasiswa yang berjalan kaki tuk melemaskan badan setelah berhari-hari terjerat makalah. 

Duhai mahasiswa, disinilah letak menariknya dari kegiatan yang disebutkan diatas. Apabila jam sudah menunjukkan pukul 17.00, maka keadaan mulai berbeda. Manusia-manusia yang duduk melepas  penat di bangku GSP akan menyaksikan pertujukan rona cahaya senja yang sangat indah.

Senja tidak pernah berbohong, begitu kata teman saya. Setiap kali, bila memang tepat waktunya, langit jogja bagian barat akan terlihat sangat menyenangkan mata. Gradasi warna di langit akibat tergelincirnya mentari di ufuk barat menambah indah langit sore kota jogja. Siapapun yang menyadari momen tersebut tidak akan membuang kesempatan untuk memotretnya. 

Momen seperti inilah yang tidak patut dilewatkan. Setiap rona itu muncul, maka GSP akan menjadi tempat paling romantic di jogja. Suasananya yang tenang dengan tanah lapangnya yang dikelilingi pepohonan rindang. Benar-benar memanjakan mata manusia yang melepas penat disana.

Maka, adakah engkau sungkan menolak ajakanku untuk jogging sembari menikmati mentari yang terbenam di GSP, hai temanku?

*Ditulis oleh Sholahuddin Al Ayubi