Sabtu, 02 Mei 2020

Karantinaku Dihantui Pilkada

Overthinking adalah passionku. Tiap detik, tiap menit, tiap ganti rezim, overthinking selalu muncul. Ia seakan menjelma menjadi khodamku, meski efek sampingnya jin ifrit dalam tubuhku akan turut overthinking.

Korona seakan-akan menambah waktuku untuk bermesra-mesraan dengan overthinking. Terisolasi dalam ruangan seluas 3x2 meter diatas sultan ground selama hampir 24/7 bersama makhluk bernama overthinking terasa sangat pedih lagi menyebalkan. Sungguh!
Overthinking hari ini dimulai dari timeline Twitter yang ramai karena #BupatiKlatenMemalukan. Gara-gara handsanitizer bantuan kementerian sosial RI ditempeli stiker norak sang bupati, amarah warga twitter meledak. Rasan-rasan akar rumput membuncah menjadi lebih terang-terangan selama 3 hari kebelakang dalam wujud thread dan meme

Melihat hal tersebut, diri ini teringat akan pertemuan pada awal Februari kemarin. Forum grup diskusi lintas ormas wal ormeks yang dihelat oleh CFDS Fisipol UGM saat itu membahas mengenai peran media sosial dalam gelaran pilkada. Kami yang diundang diharap memberikan pandangannya masing-masing untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi platform media sosial seperti Facebook. 
Hamba cukup berdosa jika menyimpan ide hanya pada lingkup diskusi itu saja. Handai tolan pun khalayak ramai perlu tahu apa saja keresahan beserta solusi-solusi hamba dan kawan-kawan menyikapi pilkada. Maka dari itu, lewat tulisan ini, izinkanlah hamba berbagi.
Tulisan ini menyeru kepada kalian, wahai umat-umat nirkerja atau bahkan untuk yang baru saja di PHK, tolong jangan jadi buzzer. Sungguh, jangan. Kalau pun kepepet karena tergiur uang, maka jadilah buzzer yang santun. Meski hamba dan kalian tahu itu terasa tidak mungkin.
Buzzer memang penyakit utama dalam gelaran pilkada. Opininya cenderung merusak. Tulisannya menggiring warganet untuk turut membenci satu sosok. Karakternya dibunuh habis-habisan demi kemenangan yang dipertuan.
Para buzzer bersembunyi dalam akun-akun anonim. Foto profil aneh, nama akun yang terasa ganjil, jumlah follower yang sedikit, disertai tulisan-tulisan bertendensi negatif adalah sekelumit identitas mereka. Celakanya, para buzzer tidak hanya memiliki satu akun. Ia “beternak akun” demi memudahkan tugasnya membunuh karakter seseorang di dunia maya.
Akun-akun anonim inilah yang perlu dibereskan. Kami saat itu sepakat perlu ada pengaturan jumlah buzzer. Provider internet dan media sosial perlu terlibat untuk, minimal, memverifikasi akun-akun buzzer agar traffic dunia maya bersih lagi sehat. Akun-akun resmi organisasi juga perlu dikenali dan diverifikasi demi mengetahui mana kawan mana lawan sebab buzzer juga bisa menjatuhkan nama besar suatu organisasi. Tak luput juga akun media sosial milik perseorangan, khususnya publik figure, untuk diverifikasi sebab akhir-akhir ini bermunculan akun-akun sejenis yang menduplikasi sosok tersebut. 
Tulisan ini juga menyeru kepada kalian, wahai calon kepala daerah beserta tim sukses yang akan berkorban demi kekuasaan, jadilah insan yang jujur dan berjiwa besar. Gunakanlah cara-cara yang elegan dalam mengemas kampanye. Terlebih, jika kalian menggunakan cara kreatir demi menggaet massa.
Tebakanku, Para calon kepala daerah akan berlomba-lomba untuk menunjukkan dirinya lebih unik. Maka, pilkada tahun ini akan diramaikan dengan banyak kampanye kreatif. Fenomena Tronjal-tronjol tahun kemarin sudah cukup dijadikan acuan bagi para konten kreator tim pemenangan, tinggal bagaimana mengemasnya kembali kepada diri masing-masing tim kreatif. Hanya saja, tolong, kepada para konten kreator cum tim kreatif, hargailah ide seseorang. Kampanye kreatif tentu menjadi ladang pertempuran bagi orang-orang untuk sikut-menyikut ide dan gagasan. Mendaku dirinya paling kreatif tak tahunya nyomot karya orang. Apa tidak curang?
Dan terakhir, untuk saudara-saudaraku, anak-anak generasi Z, khususnya yang masing berseragam sekolah, tolong tingkatkan literasi digital anda sekalian. Masa isolasi mandiri yang kalian habiskan bersama gadget seharusnya menjadikan kalian lebih cerdas dalam menggunakannya. Pasti banyak sekali informasi-informasi yang kalian terima. Padatnya arus informasi di internet tentu harus diimbangi dengan kemampuan menyaring dan memilah. Maka dari itu, sadar sebelum gunakan adalah hal yang wajib dibiasakan. Jaga kewarasan dan nalar berpikir menjadi satu-satunya cara untuk melindungi diri dari serangan berita hoaks dan framing menyesatkan.
Tiga hal diatas perlu dicermati. Tentu solusi memerlukan aksi. Tapi yang jelas, overthinking kali ini menjadi awal dari overthinking di kemudian hari karena pada saat pilkada itulah, hamba, handai tolan dan kalian yang membaca ini, akan lebih mumet karena terbelah sebab pilihan yang tak selalu sejalan dan hati yang tertatih-tatih menentukan kepastian.  Akhir kata, selamat overthinking yang mulia!

***
Yogyakarta, 2 Mei 2020
Ditulis oleh Sholahuddin Al Ayubi, 
Seorang calon buruh.