Senin, 10 Desember 2018

Puisi Lewat Jam Malam

Tengah malam
Tuhan hadir
mengulurkan tangan
Bukan kepada mereka
yang sujud,
Melainkan kepada mereka
yang masih bekerja
Walau dengan satu tangan.

Tengah malam
Tuhan hadir
Dalam wujud mimpi
Orang-orang yang tidur di emperan.
Yogyakarta, 18 Oktober 2018

Kamis, 18 Oktober 2018

Jatuh Cinta dengan Cara yang Menyenangkan #1

Kau tahu kenapa aku sering mengunjungi toko buku? Karena aku jatuh cinta dengan si pramuniaga. -
Tuhan mengizinkanku untuk jatuh cinta disaat matahari sedang melambaikan salam perpisahan di ujung kota. Sosok yang membuatku jatuh cinta adalah dia yang bekerja di toko buku indie langgananku. Dialah si pramuniaga.
Dari sekian banyak kehadiranku di toko itu, aku bisa pastikan baru hari itu aku bertemu dengan dia. Mungkin dia pegawai baru. Mungkin juga aku yang merasa dia baru karena itu kali pertama aku berjumpa. Yang jelas, saat itu aku takjub.
Berjalan pelan sembari menatap rak. Mata sibuk menatap dari arah bawa ke atas. Tak lupa juga tuk sesekali melirik ke wajah si pramuniaga. Dua pengunjung wanita yang repot mengeluarkan uang di hadapan si pramuniaga berhasil menjadi sekat penghalang mataku yang usil menatap jahil ke wajah si pramuniaga.
Merayakan sepakbola yang kucari akhirnya ketemu. Tepat disaat kios hanya diisi oleh dua orang manusia yang belum saling mengenal. Tubuh kubawa mendekati meja kecil yang menjadi tempat transaksi jual beli.
“Mba udah pernah baca ini?” tanyaku menyelidik.
“Kok gitu mas tanyanya” wajah cantiknya tidak luntur meski tawanya sedikit dipaksakan.
“Ya siapa tahu mba nya jual buku ini karena mba menjual semua kesukaan mba” balasku dengan hehe dibelakang.
“Harusnya bagus mas, kan tentang sepakbola. Sama kayak kesukaannya mas nya”
Ah sa ae nih mba-mba pramuniaga. Lum tau aja dia a good boyfriend is a liverpudlian cause he never let his girlfriend walk alone. wahaha...
Obrolan singkat itu berakhir dengan diserahkan tiga lembar uang dua puluh riibuan ke tangan pramuniaga. Buku yang menjadi bahan ngobrolku pun berhasi ku bawa pulang dengan segala ceritanya. Pertemuan itu akan menjadi awal perjumpaanku selanjutnya. Dengan ini aku akan rajin ke toko buku.

Yogyakarta, 6 Oktober 2018.

Jumat, 05 Oktober 2018

Semua Tempat adalah Klinik Kesehatan


Senja tersaput indah di atas langit ketika aku melangkahkan kaki keluar dari kompleks kampus kedokteran UGM*. Rutinitas pulang dikala matahari terbenam menjadi hal biasa dalam kehidupanku. Materi kuliah hari ini terasa hangat di dalam otak ketika diri ini mencoba untuk merebahkan badan di sandaran kursi bus Trang Jogja. Di dalam bus kota yang membawa ku pulang, ada satu hal yang mencuri pandanganku. Kotak putih dengan palang merah menyala menggantung anggun di tiang yang dipunggungi sang supir.
 “Bahkan persediaan obat di bus kota lebih lengkap daripada di puskesmas,” Batinku dalam hati. Selintas, perkataan tersebut terdengar biasa saja. Akan tetapi, kata-kata tersebut bisa menjadi gambaran dari kondisi instansi kesehatan di negeri ini.
Bila ada berita yang mengangkat isu seputar kesehatan, bisa dipastikan narasi yang digunakan selalu masalah infrastruktur yang tidak memadai lagi timpang antara daerah yang satu dengan yang lain. Kondisinya bahkan sangat miris bila kita melihatnya dalam bentuk foto yang ditampilkan oleh media massa baik elektronik maupun cetak. Bila sudah begitu, kami selaku garda terdepan kesehatan tidak kuasa untuk membela diri. Kenyataan seperti itu memang benar adanya.
Lagi-lagi, pembangunan yang terkesan jawa-sentris menjadi kambing hitam atas tidak meratanya infrastruktur kesehatan di luar jawa. Menyalahkan pemerintah yang abai menjadi alasan yang selalu diulang-ulang bila masalah muncul. Sikap menunggu bantuan dari pusat seperti menjadi satu-satunya solusi jitu. Tapi, benarkah tidak ada solusi lainnya ?
Dokter harus bisa memahami dan peka, itu pengingat dari saya. Kenapa ? Karena, mau bagaimanapun, persoalan infrastruktur ini berkaitan dengan pengambilan kebijakan. Pengambilan kebijakan bisa berasal dari instansi pemerintah, lembaga kesehatan, maupun lembaga social masyarakat. Dokter yang baik harus memahami bagaimana proses pengambilan kebijakan itu berlangsung.
Bila kita sebagai dokter mengerti bagaimana aturan mainnya, maka kita bisa mengetahui bagaimana pola distribusi alat-alat kesehatan. Pola distribusi yang baik adalah yang melibatkan peran serta pemerintah, pihak pemodal, dan masyarakat. Keterbukaan informasi dan kesediaan dana menjadi modal penting yang perlu dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Mereka harus saling bersinergi.
Pengadaan barang dalam jumlah banyak pasti sudah diperhitungkan dengan cermat. Pengawasan dari para dokter yang akan menerima hasil pengadaan tersebut juga perlu ditingkatkan agar barang tersebut benar-benar tepat sasaran. Jangan sampai, puskesmas di desa kalah fasilitas dengan P3K di dalam bus kota.
(AL)
Yogyakarta, 4 Oktober 2018
*Tulisan ini dibuat sebagai bentuk jawaban atas tantangan yang diberikan Adibah Afriastini Wenni untuk menulis mengenai isu kesehatan

Senin, 16 Juli 2018

Belajar dari Merapi: Magelang Pakubumi


Magelang menjadi sumber tulisan ini bermula. Wilayah yang dibedakan secara administratif menjadi kota dan kabupaten ini terletak di Provinsi Jawa Tengah. Merapi menapakkan kakinya di kabupaten magelang dan disanalah cerita akan berlanjut.
Kami tiba di rumah Bu Projo dengan perut terisi nasi ayam khas warung padang. Hidangan berbuka puasa tersebut menambah semangat kami bersebelas saat mendengar arahan singkat dari bu projo dan kawan-kawan coordinator dari KLM.  
Pada kesempatan ini, sebelas orang akan disebar ke empat titik pos yang sudah ditentukan. Jarak rata-rata tiap pos dari puncak merapi berkisar antara 5-6 kilometer. Tiap pos akan diisi oleh dua dan tiga mahasiswa UGM. Ronda malam tetap menjadi kewajiban kami seperti kemarin.
Kali ini, saya selain bersama mas hendra, juga ditemani Mba Tami untuk melewati malam yang panjang. Ditemani pak singo, kami menuju ke Dusun Sumber. Dusun Sumber terletak enam kilometer dari puncak merapi. 
Saat pertama tiba, kami disambut enam belas laki-laki. Anak-anak muda dan para senior berkumpul di sekitar pos jaga. Sebuah gubuk berukuran 3x3 berdiri jumawa berselimut kain putih bersih yang menunjukkan bahwa gubuk tersebut belum lama berdiri. Api unggun yang dikelilingi tikar tergelar di kanan-kiri. Permainan gaple menjadi pemandangan biasa karena memang itu satu-satunya permainan yang mengasyikkan di kala malam.  
Hal pertama yang kulakukan adalah berkeliling. Ya, pos ronda yang akan aku tempati ini memiliki kondisi lingkungan yang menarik menurutku. Betapa tidak, pos ini terletak di belakang sekumpulan rumah yang mana rumah tersebut seperti membentuk persegi panjang dengan menyisakan satu halaman kosong yang luas ditengahnya sebagai jalan. Rumah tersebut saling berhadap-hadapan satu sama lain tanpa ada pagar ataupun sekat pemisah lainnya. Rumah tersebut juga memanjang ke samping.
Bagian belakang pos ronda tak kalah indah. Terdapat sawah dan kebun milik warga yang tertanam rapi. Sawah tersebut berbentuk terasering, seperti sawah di pulau Bali. Aku yakin saat mentari muncul, wajah desa tersebut di pagi hari akan sangat indah.
Setelah puas berkeliling, aku mencoba membaur dengan warga yang ikut ronda. Beberapa pemuda asyik bermain gaple, beberapa sibuk membalas pesan di gawainya. Percakapan antar pemuda terdengar bernada, mungkin ini logat orang jawa tengah daerah magelang yang selalu memberi akhiran dengan nafas panjang di setiap kalimatnya.
Obrolan serius mulai terjadi. Bukan, bukan dengan para pemuda itu, akan tetapi, dengan salah satu orang sepuh yang ada di dusun itu. Orang yang memulai obrolan serius itu bernama Pak Muhadi.
 Obrolan dimulai dengan menanyakan kondisi dusun selama merapi terbangun. Dusun tersebut sering terkena abu vulkanik merapi apabila merapi terbatuk. Letusan freatik akhir mei kemarin menjadi salah satu contoh mengapa dusun ini rentan terkena dampak bencana dikarenakan dusun ini bakal tertutup abu dengan jumlah yang tak sedikit. Penduduk yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani di dusun ini juga akan mengalami gagal panen apabila tanamannya tertutup hujan abu tebal.
Dusun sumber ternyata sudah sejak dulu menjadi sasaran empuk merapi untuk disakiti. Letusan merapi pada tahun 1930 menjadi salah satu buktinya. Kala itu, teknologi belum secanggih abad ke 21, desa itu belum mengenal listrik sehingga saat malam menjelang, masyarakat hanya bermodal sentir atau lampu teplok. Syukur-syukur jika ada cahaya rembulan, terang dusun itu. Sayangnya, Merapi meletus saat malam menjelang tanpa purnama. Warga tidak sempat menyadarinya karena merapi saat itu membunuh warga dusun dengan cara yang halus.
Merapi mengeluarkan gas beracun. Gas itu keluar bersamaan dengan awan panas yang keluar dari mulut merapi. Gas itu berlari lebih cepat dari awan panas sehingga ketika warga sadar merapi melalui awan panasnya sedang mencoba untuk membunuh warga, mereka lebih dulu mati oleh gas beracun. Awan panas kemudian datang membereskan semuanya. Merapi meletus sejadi-jadinya. 
 Konon, letusan pada tahun itu merupakan yang terparah. Setidaknya lebih dari 1000 warga meninggal dunia. Desa-desa yang berada dekat dengan puncak merapi  juga dilahap awan panas. Yogyakarta diselimuti abu tebal selama berhari-hari.
Menariknya, menurut penuturan Mbah Muhadi dari pengakuan simbah-simbah buyutnya dahulu, Kondisi dusun tersebut ketika ditemukan pasca merapi meletus masih sama seperti kondisi awal. Posisi warga tidak berubah, masih seperti kegiatan sebelum awan panas mendekati mereka. Sayangnya, mereka sudah tak bernyawa. Bahkan, saat korban disentuh, tubuhnya akan melebur seperti abu. 
         
     Dari kejadian tersebut, penduduk sekitar lebih waspada terhadap lingkungan sekitar. Mereka menggunakan ilmu titen dan ilmu tenger untuk mengantisipasi bahaya gunung merapi. Melihat, mendengar, dan merasakan bagaimana kondisi gunung merapi, sesimpel itulah ilmu titen dan ilmu tenger. Gejala alam sering nampak, tapi terkadang tidak disadari. Maka dari itu, orang yang tinggal di sekitar merapi harus mampu untuk peka dengan alam tempatnya tinggal.
 

              Aku sebagai pihak yang didongengi merasa takjub. Dusun ini ternyata menyimpan ceritanya sendiri soal merapi. Mereka yang menjadi sesepuh dusun ini merupakan pelaku dan saksi sejarah keganasan merapi. Bersyukurlah tuhan mempertemukanku dengan pak muhadi yang ternyata doyan sekali bercerita panjang lebar, seperti cerita berikutnya.


              Pak Muhadi berkata bahwa beberapa dusun di wilayah sumber dukun masih sering menjalankan ritual ala orang jawa. Jika sudah masuk waktunya, mereka akan menjalankan ritual sesuai jatuh hari dalam penanggalan jawa. Beberapa tempat di sekitar sumber dukun yang dekat dengan puncak merapi pun masih disakralkan oleh penduduk sekitar.  

              Dia juga mengaku sering diminta tolong orang-orang dari bawah –sebutan untuk penduduk luar lereng merapi- untuk turut “mengantarkan” ke tempat yang disakralkan tersebut. Mereka ingin bertapa disana, mencari wangsit salah satunya. Pak Muhadi juga manut-manut saja diminta tolong seperti itu. Dia beralasan itu merupakan satu-satunya cara dia untuk turut menjaga dan melestarikan tradisi yang hidup disana. 

              Berkomunikasi melalui ritual memang menjadi salah satu cara untuk memahami merapi. Ritual-ritual tersebut merupakan cara untuk kulanuwun ke penghuni lain gunung merapi. Manusia harus hidup harmonis dengan alam dan penghuni lainnya, itu salah satu yang melatar belakangi mengapa penduduk sekitar sering mengadakan ritual. 

              Beruntungnya, penghuni lain itu akan turut serta membantu kehidupan warga lokal. Tanah yang subur, cuaca yang cerah, hasil alam yang melimpah adalah bukti nyata yang diakui oleh penduduk merupakan salah satu bantuan dari mereka yang tidak terlihat. Makhluk itu juga tidak segan untuk memperingatkan penduduk mengenai merapi. Misalnya, ketika merapi akan meletus, penduduk terpilih akan didatangi oleh bidadari berwajah jelita dan diberi tahu. Akan tetapi, kondisi sebaliknya malah dirasakan oleh penduduk yang dirasa benar-benar sakti. Dia akan didatangi dengan keadaan yang benar-benar tidak bisa dibayangkan, mungkin frasa mengerikan cocok untuk menggambarkan kondisi fisiknya, tapi kata Pak Muhadi, tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkannya karena memang begitulah keadaan yang sebenarnya.  

              Orang yang didatangi bidadari cantik dengan yang tidak ternyata memiliki perbedaan. Kata Pak Muhadi, biasanya mereka yang didatangi makhluk tak rupawan lebih dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab memperingati penduduk sekitar mengenai kondisi merapi. Dia juga mengemban amanah menjadi penghubung antara mereka yang tak terlihat dengan yang terlihat. Maka dari itu, orang yang didatangi si buruk rupa akan lebih didengar oleh masyarakat dan dipatuhi segala nasihatnya.  

              Malam semakin malam, cerita masih berkutat mengenai pengalaman Pak Muhadi dengan kisah-kisah mistis selama tinggal di lereng gunung merapi. Aku yang takjub mendengar kisah-kisahnya kemudian menarik kesimpulan bahwa seseorang melakukan sebuah ritual bukan tanpa alasan. Ada sebab akibat mengapa hal itu terjadi. Mungkin ritual dan cerita yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan Pak Muhadi terkesan tidak masuk akal, tapi memang logika tidak akan berlaku disana. Bagaimana diri ini bisa peka merupakan kunci untuk memahami itu semua. 

              Maka dari itu, wajar, apabila magelang menjadi pakubumi. Apabila orang-orang ditempat ini tidak lagi menjalankan ritual ataupun enggan untuk menjaga keharmonisan dengan alam, maka bumi jawa akan geger. Merapi akan mengamuk sejadi-jadinya. 

*** (Al) ***