Rabu, 29 April 2020

Belajar dari Bapak

Corona menjauhkan hamba dari rumah. Terpisah 60 KM demi menghindari zona merah tapi ternyata dirinya sendiri berada di zona merah memaksa hamba untuk lebih kuat memperpanjang rebahan. Internet dan gadget menjadi satu-satunya alat melepas rindu kepada yang jauh disana. 

Terkadang, saat sedang asyik rebahan, diri ini sering membayangkan hal-hal yang dulu pernah terjadi selama ramadhan. Mungkin seputar betapa serunya ngabuburit bersama kawan dengan njajah mesjid milang kori, atau tentang keluarga yang satu rumah tidak sahur karena kawanen. Tentu, bayangan tentang sosok orang tertentu menjadi lebih kuat saat terpisah jauh seperti sekarang. 
Pandemi ini mengingatkan hamba akan keberadaan laki-laki tertua dalam keluarga. Sebut saja bapak. Pensiunan pegawai hotel berbintang kota wisata ini adalah penggila keselamatan nomor wahid. Pengalamannya di hotel dengan segala pelatihan K3 nya terbawa sampai ke rumah. Banyak inovasi yang ia buat di rumah demi keselamatan para penghuninya. Mari hamba sebut inovasinya satu persatu.
Pertama, peti dorong. Kayu besar persegi panjang dengan roda dibawahnya adalah salah satu  inovasi bapak. Peti ini ada dua buah, satu berisi dokumen-dokumen penting keluarga seperti akta, KK, dan ijazah. Satu lagi berisi barang pecah belah dan slot ruang untuk baju. Alasan pembuatannya? Sederhana. Jika rumah, misalnya, mengalami kebakaran, maka penghuni rumah akan berlari bersama peti dorong yang turut berlari karena tenaga dorong kami. Hanya itu. 
Kedua, folder plastik warna-warni. Selaku ketua RT, pasti data warga dan lingkungan sekitarnya berada di tangannya. Maka dari itu, folder ini berguna untuk menyimpan data agar tidak hilang. Memang berguna sesuai fungsinya, hanya bedanya, tiap folder memiliki warnanya sendiri untuk keperluan yang berbeda. Misal, kuning data warga proses jadi, merah data warga pergi, hijau untuk keperluan sampah dan kepentingan lingkungan alam sekitar, putih bening untuk file rapat, dan lain sebagainya. Bahkan, folder plastik tersebut diolesi fosfor. Kenapa begitu? agar mudah dicari ketika dibutuhkan dalam gelap atau tercecer saat malam. Duh!  
Ketiga, kaleng armageddon. Kaleng armageddon bukan wadah kaleng-kaleng. Suatu hari, kata bapak, kamu akan berterima kasih tak henti-henti karenanya. Kenapa? Karena ia menolong dari rasa lapar dan dahaga. Kaleng armageddon adalah kaleng blek berbagai merk yang berisi kebutuhan pangan tahan lama seperti susu kaleng, sarden kaleng, oatmeal, indomie hingga air minum botolan. Kaleng armageddon ini tersimpan dalam box plastik besar. Penggunaan box plastik besar juga ada alasannya. Kata bapak, "suatu hari, ketika kampung ini terkena banjir, maka box plastik ini akan tetap selamat sebab ia kedap air dan mudah mengambang,"
Itulah tiga inovasi bapak. Untuk yang terakhir, hamba sangsi karena memang belum teruji. Meski begitu, apa yang bisa dipetik dari perilaku nyeleneh bapak adalah utamakan keamanan dan keselamatan. Peribahasa sedia payung sebelum hujan rasanya-rasanya benar diamini oleh bapak

Meski bagi sebagian orang itu terasa sia-sia dan terkesan ribet, toh kita memang tidak tahu pasti kapan bencana itu datang. Setidaknya, inovasi ala bapak membuat kita bisa memperpanjang nafas ketika bencana itu melanda.

Korona menjadi salah satu contoh bagaimana bencana tidak terduga datang. Ketika orang tidak bekerja dan seluruh dunia berhenti total, maka kelaparan dan kebingungan melanda. Beruntunglah mereka yang punya simpanan sebab terhindar dari panic buying hingga panic anj1nk.
Maka dari itu, belajarlah dari bapak! 
***
Yogyakarta, 29 April 2020
oleh Sholahuddin Al Ayubi

Selasa, 21 April 2020

Belajar dari Merapi: Indahnya Merapi Ramahnya Warga Boyolali


Hari ketiga. Giat merapi ala cah Gelanggang yang mencoba belajar memahami bagaimana mitigasi bencana ala “wong nduwur” sudah memasuki masa akhir (11 Juni 2018-red). Lokasi yang menjadi tempat pembelajaran terakhir rakyat Gelanggang UGM berada di daerah Selo, Kabupaten Boyolali. 
Enam belas anggota pasukan gagah berani Gelanggang wani lan peduli bergerak menuju Boyolali. Motor-motor menderu pertanda siap mendaki gunung lewati lembah. Perjalanan ditempuh dari Desa Sumber di Magelang menuju ke Selo Boyolali, tepatnya ke Dusun Stabelan. Dusun Stabelan kami tuju sebab di dusun itulah teman-teman Komunitas Lingkar Merapi (KLM) bermarkas.
Kami tiba di rumah Mas Rembo. Mas Rembo, entah siapa nama aslinya, adalah nama panggilan akrab yang disematkan handai tolan pun masyarakat Selo sebab tampilannya yang selalu berpakaian loreng dan bertubuh kekar. Ia bertugas sebagai koordinator KLM region Selo, Kabupaten Boyolali. Tugasnya mengatur gerak teman-teman KLM dalam mengantisipasi bencana merapi. Kesehariannya di KLM dibarengi dengan pekerjaannya di ladang dan tetap rajin mengantar sayur mayur ke kota langganan. 
Disana kami mengatur strategi untuk menghadapi malam yang akan kami lalui. Kulo nuwun sembari saling mengenal satu sama lain dilakukan untuk mencairkan suasana. Selepas itu, kami melakukan briefing untuk mengenal medan yang akan kami tempati disertai petunjuk cara evakuasi jika sewaktu-waktu Merapi erupsi. Pos giat juga dibagi berdasarkan kemampuan dan keahlian tiap individu pasukan Gelanggang agar sesuai dengan lingkungan dan kondisi masyarakat.
Kenapa hal tersebut dilakukan? Sebab pos yang akan kami tempati adalah pos yang paling dekat dengan puncak Gunung Merapi. Kami akan disebar mengelilingi gunung yang mana jarak tiap pos jika dihitung dari puncak terpaut sekitar 3-4 kilometer. Jarak yang cukup dekat untuk segera bertemu sang pencipta, bukan?
Maka dari itu, cara evakuasi dan mengetahui kultur masyarakat sekitar menjadi suatu keharusan yang ditekankan pada kami saat itu. Pasukan Gelanggang harus cepat tanggap dan responsif jika memang hari itu adalah hari dimana Merapi benar-benar erupsi. Jika benar, maka hari itu juga kami adalah Tim SAR yang harus bergerak paling awal.


Enam belas pasukan Gelanggang disebar ke dalam lima pos. Mereka harus berjaga di Dusun Kedung, Dusun Sepi, Dusun Stabelan, Dusun Takeran, dan Dusun Sumber Klakah.  Tiap pos diisi oleh 3-4 orang pasukan Gelanggang. Hamba, bersama Ajun dan Mbak Eko, diutus ke Dusun Sumber Klakah. Kami bertugas di sana ditemani oleh Mas Marmin, adik kepala Dusun Sumber Klakah. 


Dusun Sumber Klakah letaknya terjepit barisan bukit. Akses jalan utama menuju kesana terputus sebab jembatan penyeberangan satu-satunya tak kunjung diperbaiki. Jalur alternatif yang ada pun benar-benar menantang sebab melalui jalan setapak tak beraspal yang kanan kirinya adalah jurang. Kondisi motor dan pengendara dituntut prima karena medan sangat sulit. Tak jarang kami sering merapal doa dan berusaha fokus agar tak terpeleset. 
Kami tiba tepat saat sholat tarawih berakhir. Jalan kampung penuh dengan ibu-ibu bermukena diiringi bapak-bapak bersarung. Anak-anak yang tidak peduli berlari-lari menjahili sesamanya. Kerumunan warga yang kami lewati semuanya membalas ramah nderek langkung kami. 
Sesampainya di rumah Mas Marmin, kami beristirahat sebentar sembari ngobrol dengan kepala Dusun Sumber Klakah. Obrolan malam itu soal keadaan warga beserta segala potensinya. Seluruh warga ternyata menggantungkan hidupnya dari hasil tani. “Cengkeh, tembakau, wortel, lan kentang ten mriki paling laris mas, tukul terus amargi subur,” aku pak Kadus. Tuhan ternyata benar-benar memberkati dusun ini dengan baik. 
Tuhan juga memberkati dusun ini dengan bahaya yang nyata. Dusun ini, kata Pak Kadus, “bakale kena dhisik dewe, mas. Merga Paling cedhak karo puncak,”. Hujan abu dan kerikil akan sering turun sekecil apapun erupsinya. Maka dari itu, dusun ini termasuk dalam kawasan rawan bencana ring 1.
Kami mulai melakukan giat tepat pukul 21.00 WIB. Kami berkeliling dusun mengunjungi pos jaga. 5 pos jaga didirikan swadaya oleh masyarakat. Pos jaga ini berdiri dari gerbang masuk dusun hingga ke ujung dusun. Guna dari pos ini adalah untuk memantau merapi sekaligus menjadi posko komando tim evakuasi saat erupsi terjadi. Setiap 60 menit kami harus mengunjungi, mengecek, dan turut membantu masyarakat untuk memantau merapi sembari haha hihi dengan sesama. 
Sembari berjaga, kami menyempatkan untuk mengobrol bersama warga. Di pos paling depan menuturkan bahwa gemuruh merapi sering terdengar tiap malam. Dusun juga sering mendapatkan gempa kecil-kecilan. Pos terdepan harus awas karena konon puncak merapi benar-benar terlihat dekat dan tampak menakjubkan. Di pos kedua, kami bergerombol bersama anak-anak muda yang sibuk bermain ludo pada gawai milik seseorang. Permainan itu terhenti sejenak ketika pemilik rumah yang dijadikan pos meminta tolong anak-anak muda tersebut untuk menyortir wortel hasil panen tadi pagi sambil memasukkannya ke dalam karung yang lebih layak. Wortel tersebut rencananya akan dibawa turun ke pasar di kota kabupaten jam 3 pagi. Tentu saja kami turut membantu menyortir wortel tersebut meski hanya beberapa menit.


Giat berlanjut ke pos tiga. Disini kami disambut bapak-bapak dan beberapa pemuda. Mereka berkerumun di dalam pos jaga berukuran 3x3 meter sembari berasyik masyuk dengan permainan gaple dan remi. Pertarungan kartu berlangsung seru. Pemain yang kalah harus menanggung caci maki kawan lainnya sembari dicoret mukanya dengan bedak. Tua muda berbaur ditemani suguhan singkong bakar yang selalu dihangatkan di pinggir pos jaga. Hamba turut mencoba bermain gaple, ya hitung-hitung mengasah kemampuan bermain kartu. Hasilnya? ternyata payah juga, hahaha.
Di pos ke empat keadaan lebih lengang, dua tubuh terkapar di pos berselimut sarung dengan dengkuran. Dua tubuh lainnya sibuk menyaksikan siaran televisi yang tak begitu jelas apa gambarnya. Besar kemungkinan Liga Dangdut.
Pos terakhir akhirnya terjamah. Hawa dingin semakin mencoba menusuk jaket berselimut sarung yang tak seberapa tebal ini. Kami berkumpul di pos kelima ditemani tiga orang laki-laki sepuh. “Nggo mas, rokok,” tawarnya kepada kami. Ternyata, yang disodorkan kepada kami adalah rokok tingwe (linting dewe), rokok khas Dusun Sumber Klakah. Disebut  khas sebab Mbako yang digunakan berasal dari tanaman yang dibudidayakan masyarakat Sumber Klakah. Salah satu lahannya berada tepat di belakang gubuk pos ini. 
Masyarakat Sumber Klakah menggantungkan hidupnya kepada tembakau. Ia tumbuh subur di tanah dusun. Para petani mecoba merawatnya sebaik mungkin agar terus laku di pasaran.  Tak heran, tembakau yang ditanam disini memiliki mutu yang baik sehingga menjadi bahan baku utama pabrik-pabrik rokok di jawa timur dan jawa tengah.
Perbincangan tentang mbako diselingi sesapan tingwe menghasilkan obrolan yang makin ngalor-ngidul. Asap-asap mengepulkan perlawanan terhadap hawa dingin yang semakin memeluk erat. Tak terasa waktu sahur telah tiba.
Kami kembali ke rumah mas Marmin untuk santap sahur. Oseng tempe dan indomie goreng kami lahap untuk bekal menempuh hari. Suasana saat itu terasa hangat dengan keluarga Mas Marmin yang ramah dan tak malu bercerita banyak hal. Pagi itu terasa syahdu.

Mentari perlahan menyinari Dusun Sumber Klakah. Warga desa mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Ada yang menyapu latar, ada yang sibuk menggelar terpal untuk menjemur hasil bumi, ada pula yang makin erat meringkuk ke dalam jaketnya masing-masing demi melawan hawa dingin. Ternyata tidur pagi itu sangatlah syahdu, sungguh!
Sayagnya, tidurnya dua laki-laki gelanggang itu membuat Hamba dan Ajun kehilangan momen kehidupan masyarakat dusun. Mereka tampak tenang dalam berkegiatan. Proses sapa menyapa berlangsung hangat. Tukar gosip antar ibu-ibu tetaplah lancar. Rombongan bapak-bapak terlihat akrab dalam menggarap lahan. Langit dan Gunung Merapi diatas sana terlihat anggun. Puncaknya terlihat bersih lagi gagah. Pokoknya, ”Elok benar pemandangan pagi ini!,” ungkap Mbak Eko.
Puncak merapi menatap kami saat roda-roda motor menuruni lembah menuju rumah Mas Rembo. Punggung Merbabu tampak melambai ke arah kami yang tidak sempat menyadari bahwa dusun ini menyimpan keindahan yang nyata. Sepanjang jalan pulang, kami sering melamun. Ternyata,  Dusun Sumber Klakah memberi kami keindahan alam dan keramahan warganya dalam sekali pertemuan. 
***
Yogyakarta, 21 April 2020
Ditulis Sholahuddin Al Ayubi

yang rindu bersosial dengan warga Merapi.

Senin, 06 April 2020

Puisi Kisah Bakul Angkringan dan Anak Gadisnya

Abi, nanti abi pulang jam berapa?
Pecah suara dalam rinai gerimis
Sedang yang dipanggil Abi 
sibuk 
menambah arang
Ke dalam perapian 
Menguapkan harap
Dan kecemasan
Sang gadis masih sibuk
Mengulang tanya
Menanti jawaban dari abi
Yang hanya menjawab nanti
Abi, berarti ga ngambil nasi lagi?
Sat set was wes
Dua, empat, dua belas
merapal angka
Mengetuk pintu yang maha kaya
Berharap malam 
Menjadi tidak sia-sia
Abi, nyuwun es teh...
Akhirnya
Bertukar mata
Melempar senyum
Memberi
Yang tidak terperi
Sembari
Jemarinya mengaduk pelan
Menuang perasaan 
Ke dalam gelas.
Yogyakarta, 5 April 2020