Sabtu, 21 Maret 2020

Menanti Naskah Masuk Sekolah


Bagi orang yang tidak percaya, ternyata melamun itu ada sisi positifnya. Melamun dapat menyebabkan turunnya ide dan motivasi untuk menulis. Dan tulisan ini adalah salah satu bentuk dari hasil melamun itu.
Tulisan ini berawal dari kegiatan penulis ketika sedang menjemput adik saat jam pulang sekolah. Di depan gerbang suatu SMP di bilangan pasar pon Kota Solo, diri ini menunggu sembari melamun. Mata melihat lalu lalang anak-anak berpakaian biru putih di halaman sekolah. Nampak para perempuan duduk bercengkrama dengan sesamanya. Beberapa laki-laki sibuk bermain sepak bola dan berlari kesana kemari entah mengusili siapa. Ceria sekali mereka sebab tidak nampak raut kesedihan pun kecemasan. Ya tipikal remaja pada umumnya yang selalu ingin bermain dan main-main. Melihat mereka, mulut ini menggumamkan kata-kata, “pernah ga ya, mereka menyadari, jika
di sekitar sekolah mereka terdapat naskah-naskah kuno yang bisa membuat mereka lebih takjub dan terheran-heran dengan isinya?”
Tak ada angin tak ada hujan, terbersit pikiran liar yang diawali dengan pertanyaan, “pernah ga ya, pelajar di solo raya mengetahui tentang keberadaan naskah kuno di kotanya beserta isinya?” pikiran selintas yang cukup sulit untuk ditemukan jawabannya. 
Kota Solo diberkati dengan adanya dua menara gading penjaga marwah kebudayaan Jawa. Menara gading itu mewujud dalam bentuk Kraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Kedua tempat ini adalah pusat pemerintahan kerajaan Jawa sekaligus kebudayaan Jawa yang penting. Ia menyimpan koleksi ratusan, atau mungkin ribuan, naskah-naskah kuno. Naskah-naskah tersebut terdiri dari beragam karya sastra, ilmu pengobatan dan kesehatan, sejarah, dan lain sebagainya.  
Naskah-naskah tersebut sarat dengan nilai-nilai pengetahuan yang sangat penting. Ambil contoh satu naskah geger pacinan yang ada di pura mangkunegaran. Naskah tersebut menceritakan detail bagaimana geger atau konflik tersebut terjadi sejak dari awal mula hingga berakhirnya. Bisa juga belajar dasar-dasar kepemimpinan melalui naskah Taj As-Salatin atau biasa dikenal dengan sebutan sulalatussatlatin karya Bukhari Al Jauhari yang melegenda dan jadi rujukan utama untuk mendidik para calon pangeran zaman dahulu.
Naskah-naskah ini terdiam di dalam rak perpustakaan Pura Mangkunegaran dan Kraton Kasunanan. Naskah-naskah ini hanya terjamah oleh para peneliti, kalau tidak mahasiswa tingkat akhir, dalam rangka penelitian. Jarang penulis temui ada anak muda usia sekolah datang ke perpustakaan untuk sekadar tahu bahwa ada naskah kuno disana.
Diri ini membayangkan sebuah naskah akan, katakanlah, berfungsi, jika ia digunakan sebagai media pembelajaran. Bukan tidak mungkin naskah kuno juga akan menjadi sumber atau rujukan belajar sebab banyak nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalamnya. Penulis pikir impian diatas akan benar-benar terjadi ketika ia berada di sekolah.
Pemerintah sebenarnya telah menganjurkan kepada seluruh elemen, khususnya lembaga pendidikan, untuk menggunakan naskah kuno sebagai rujukan belajar. Himbauan tersebut diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Naskah perlu jadi rujukan belajar dan patut untuk diperhatikan. Harapannya, masyarakat indonesia tidak melupakannya dan kembali mempelajarinya.
Penulis pikir Perguruan Muhammadiyah Kotabarat menjadi lembaga pendidikan yang perlu untuk membuka diri terhadap kemungkinan diatas. Gaya mengajarnya yang mencoba mengakomodasi siswa tentu merangsang siswa untuk terus penasaran dan melakukan ide kreatif. Rasa penasaran yang tinggi adalah kunci untuk menuntun siswa mengetahui tentang naskah-naskah kuno yang tersebar di soloraya, khususnya yang tersimpan di kraton. 
Bisa diawali dari kunjungan ke Kraton. Agendakan kunjungan kesana dan usahakan untuk mencoba mengunjungi perpustakaannya. Tujuannya untuk memberi tahu siswa bahwa kraton memiliki perpustakaan yang bisa dikunjungi orang umum. Lalu pustakawan kraton akan menunjukkan beberapa koleksi naskah. Buku-buku yang bertahan dari lembabnya iklim dan pengapnya perpustakaan itu akan membuka dirinya kepada para siswa dan terlihatlah kandungan isi naskah yang tertulis dalam aksara jawi, jawa, maupun pegon. Jika beruntung, para siswa dapat melihat iluminasi atau corak yang menghiasi naskah. Iluminasi yang tergambar terkadang menggambarkan apa yang diceritakan dalam suatu naskah. Biasanya terbuat dari bahan khusus seperti emas atau sepuhan perak.  
Jika siswa sudah mengetahui keberadaan dan kondisi naskah, maka tinggal merangsang siswa untuk aktif mencari dan mempertanyakan naskah itu. Hal yang perlu diketahui seputar naskah seperti bentuk iluminasinya, kertas yang digunakan, penulis naskah, bagaimana cara membuatnya, apa yang ditulis dalam naskah, dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, naskah kuno akan menjadi sumber sekaligus media pembelajaran bagi murid Perguruan Muhammadiyah Kotabarat. Ia akan berfungsi sebagaimana mestinya. Nilai-nilai didaktis yang terkandung akan kembali membumi di masyarakat dan menjadi bagian dari gerak hidup masyarakat itu. Mengapa begitu? Karena pendidikan adalah cara paling ampuh untuk membentuk pribadi individu dan pelan-pelan mengubah kultur masyarakat. 
***
Yogyakarta, 20 Maret 2020
ditulis oleh Sholahuddin Al Ayubi
dalam rangka Milad 2 Dekade
Perguruan Muhammadiyah Kotabarat 

Kamis, 19 Maret 2020

Love Hate Relationship between Me and the Red Jacket.


Masa akhir kuliah, diri ini banyak melakukan refleksi atas apa yang sudah terjadi di masa lampau. 3.5 tahun haha hihi di kota pelajar memberiku banyak kesedihan, kegembiraan, kesempatan, dan kekesalan sebab ditikung konco dewe haaasssh hidup menjadi mahasiswa tidak seindah mulut para motivator expo kampus. 
Mari kuawali dengan kehidupanku yang diwarnai oleh organisasi mahasiswa bernama IMM. IMM, yang memiliki nama panjang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, adalah organisasi otonom milik muhammadiyah di lingkup kampus. Ia hidup di kampus-kampus sebab pangsa pasarnya adalah mahasiswa, baik dari PTN, PTS, maupun PTM. Ia menjadi tempat berhimpun para mahasiswa yang ingin bergerak, menjadi progresif, selalu aktif, turut menumbuhkan jiwa sosial, memperdalam ilmu agama, menimba ilmu dari para tokoh, sampai panjat sosial agar cepat sampai ke hierarki paling tinggi dari struktur sosial masyarakat. Pokoknya macam-macam yang akan kamu lakukan dan dapatkan selama bergiat di IMM.
Nah, IMM di UGM adalah anomali. UGM adalah kampus PTN-BH, IMM adalah entitas resmi Muhammadiyah. Keduanya seakan menggambarkan peribahasa ada rotan ada duri. Mengapa?  Sebab ada batas-batas dimana IMM tidak bisa masuk dalam ranah kemahasiswaan resmi kampus, pun dengan UGM yang tidak bisa serta-merta mengatur gerak langkahnya sebab berhadapan dengan entitas yang sama besarnya (Muhammadiyah -red). Meski begitu, keduanya sama-sama saling ambil untung meski kadang sesekali buntung.
IMM UGM termasuk kedalam organisasi ekstra mahasiswa eksternal. Statusnya tidak diakui kampus. Ia bukan UKM, bukan BSO, bukan pula komunitas. Ia tidak berhak menerima bantuan dana dari kampus, pun menggunakan fasilitas fisiknya. Anehnya, Ia boleh tetap hidup dan berkegiatan asalkan tetap mematuhi peraturan kampus. Ya sudah, gas mlaku loske wae rasah rewel.
Perkenalan awalku dengan IMM UGM bermula dari pesan berantai yang kuterima di grup LINE alumni Muallimin Muallimat Gadjah Mada. Awalnya aku tertarik sebab aku ingin tahu ortom Muhammadiyah ini ngapain aja, sih. Meski awalnya mager, hamba bersyukur kepada kawan bernama Yacub Fahmilda, karib di Sastra Indonesia UGM, yang rela melakukan morning call berkali-kali agar tubuh ini bangun dari dipan menuju ke tempat pertemuan. Oke, mari bertemu di Grha Sabha Pramana (GSP UGM). Pertemuan berlangsung biasa saja. Kenalan, tanya motivasi ikut IMM dan latar belakang pribadi, lalu kumpul tiap klaster berbincang apapun. Lalu pulang. Selepas itu, ya sudah. Begitu saja ga ada apa-apa. 
Pengalaman awalku bergiat di IMM UGM diawali dari baksos di suatu kampung di atas Waduk Sermo Kulon progo pada Idul Adha 2016. Kader yang saya kenal waktu itu adalah Mba Neisha (Fisipol 12), Mas Fatah (SV 13), Mba Amsa (Fisipol 13), Mas Rusli (Filsafat 14), dan Afif (FIB 16). Selama tiga hari disana kami menyembelih hewan qurban, membagi sembako, dan mengadakan sekolah alam bagi anak sekolah dasar. Menyenangkan? Tentu. Impresi seperti itu perlu dirasakan oleh Maba seperti saya.
Setelah itu, hamba masuk ke struktural IMM UGM di bidang Media. Bidang tersebut dikomandoi Mba Amsa (Fisipol 13) dan dibantu Mba Rara (Fisipol 15). Kerjaan saya? Jadi admin sosial media. Yang lain? Bikin caption. Sudah, begitu saja. Selepas itu hamba vakum. 
Dipusingkan dengan event internal jurusan dan fakultas adalah hal pertama yang membuat hamba vakum dari IMM. Yang kedua adalah meningkatnya jabatan publik di lingkup jurusan, fakultas, hingga sekelas UKM universitas dalam satu waktu. Jabatan publik yang tidak main-main sebab diri ini adalah orang kedua di organisasi tersebut. Sedih, tapi harus dilakukan.
Vakumnya hamba dari IMM membuat diri ini sering malas untuk kembali bergiat disana. Angin anginan ikut kajian adalah penyakit pertama yang hinggap. Merasa bosan dengan ceramah yang, bagi hamba pada saat itu, memukul rata semua kajian terlalu normatif dan permisif. Penyakit kedua adalah sebelah mata memandang teman-teman kader tidak memiliki kultur selentur kawan-kawan soshum. Terlalu spaneng, agamis, dan eksklusif adalah citra yang menempel selama tahun kedua dan setengah jalan tahun ketiga kuliah. Waktu itu rasanya kesal sekali menyadari kenyataan bahwa IMM UGM tidak semenyenangkan itu.
Lucunya, hamba masih bertahan, bahkan hingga sekarang. Entah diri ini masokis atau bukan, tapi hamba merasa diri ini belum menyelam terlalu dalam. Hamba pernah berkata kepada alter ego diri, “Wong kita udah basah, ya nyebur aja sekalian.” Maka dari itu, menyelam sampai ke ujung terus hamba lakukan sampai sekarang.
Motivasi lain saat itu, bahkan sedari awal hamba berpakaian putih biru, sebab diri ini berprinsip seperti ini: “kalau ingin mengenal tuhan, cara kawan-kawan nahdliyin adalah suatu kesungguhan. Tapi kalau ingin mengenal manusia, maka cara Muhammadiyah adalah suatu keniscayaan.” diri ini merasa dekat dengan tuhan ketika memakai cara kawan-kawan nadhliyin dengan sholawat bersama habaib, zikir bersama selepas solat berjemaah, hingga ngaji kitab klasik setiap selesai solat. Tapi, hamba akan benar-benar bisa mengenal manusia dengan segala tingkah lakunya lewat Muhammadiyah melalui amal usahanya. Betapa, perangai manusia yang berbeda-beda itu tampak ketika dihadapkan dengan sesuatu yang wujud. 
Syukur, semesta atas izin tuhan yang maha pengasih mengizinkan hamba terus bergiat di IMM sampai sekarang. Merasakan berjuang ikhlas itu bagaimana, mencicipi hidup selo-selo spaneng sebagai pimpinan selama 390 hari, menimba ilmu dari para tokoh yang berhasil mengintegrasikan ilmu agama, ilmu sosial, dan kelurusan akhlak hingga hal-hal lain yang jika hamba tulis bisa jadi topik untuk tiap bab buku otobiografi Sholahuddin Al Ayubi: pikiran dan perbuatan saya (akan terbit kalau sedang otw jadi persiden).
Jadi, Begitulah, kisah hamba bersama IMM UGM. Cinta dan benci yang muncul beriringan setiap berkegiatan di IMM, UGM pula. Kadang Menyenangkan tapi lebih banyak menyedihkan. Memang diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak. Namun, semua itu tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian. Lagi pula, berjuang tidak sebercanda itu, bukan?
***
Ditulis di Yogyakarta, 19 Maret 2020.
untuk Luna DRW
oleh Sholahuddin Al Ayubi
Diiringi lagu “Rehat”-nya Mas Kunto Aji.