Kamis, 18 Oktober 2018

Jatuh Cinta dengan Cara yang Menyenangkan #1

Kau tahu kenapa aku sering mengunjungi toko buku? Karena aku jatuh cinta dengan si pramuniaga. -
Tuhan mengizinkanku untuk jatuh cinta disaat matahari sedang melambaikan salam perpisahan di ujung kota. Sosok yang membuatku jatuh cinta adalah dia yang bekerja di toko buku indie langgananku. Dialah si pramuniaga.
Dari sekian banyak kehadiranku di toko itu, aku bisa pastikan baru hari itu aku bertemu dengan dia. Mungkin dia pegawai baru. Mungkin juga aku yang merasa dia baru karena itu kali pertama aku berjumpa. Yang jelas, saat itu aku takjub.
Berjalan pelan sembari menatap rak. Mata sibuk menatap dari arah bawa ke atas. Tak lupa juga tuk sesekali melirik ke wajah si pramuniaga. Dua pengunjung wanita yang repot mengeluarkan uang di hadapan si pramuniaga berhasil menjadi sekat penghalang mataku yang usil menatap jahil ke wajah si pramuniaga.
Merayakan sepakbola yang kucari akhirnya ketemu. Tepat disaat kios hanya diisi oleh dua orang manusia yang belum saling mengenal. Tubuh kubawa mendekati meja kecil yang menjadi tempat transaksi jual beli.
“Mba udah pernah baca ini?” tanyaku menyelidik.
“Kok gitu mas tanyanya” wajah cantiknya tidak luntur meski tawanya sedikit dipaksakan.
“Ya siapa tahu mba nya jual buku ini karena mba menjual semua kesukaan mba” balasku dengan hehe dibelakang.
“Harusnya bagus mas, kan tentang sepakbola. Sama kayak kesukaannya mas nya”
Ah sa ae nih mba-mba pramuniaga. Lum tau aja dia a good boyfriend is a liverpudlian cause he never let his girlfriend walk alone. wahaha...
Obrolan singkat itu berakhir dengan diserahkan tiga lembar uang dua puluh riibuan ke tangan pramuniaga. Buku yang menjadi bahan ngobrolku pun berhasi ku bawa pulang dengan segala ceritanya. Pertemuan itu akan menjadi awal perjumpaanku selanjutnya. Dengan ini aku akan rajin ke toko buku.

Yogyakarta, 6 Oktober 2018.

Jumat, 05 Oktober 2018

Semua Tempat adalah Klinik Kesehatan


Senja tersaput indah di atas langit ketika aku melangkahkan kaki keluar dari kompleks kampus kedokteran UGM*. Rutinitas pulang dikala matahari terbenam menjadi hal biasa dalam kehidupanku. Materi kuliah hari ini terasa hangat di dalam otak ketika diri ini mencoba untuk merebahkan badan di sandaran kursi bus Trang Jogja. Di dalam bus kota yang membawa ku pulang, ada satu hal yang mencuri pandanganku. Kotak putih dengan palang merah menyala menggantung anggun di tiang yang dipunggungi sang supir.
 “Bahkan persediaan obat di bus kota lebih lengkap daripada di puskesmas,” Batinku dalam hati. Selintas, perkataan tersebut terdengar biasa saja. Akan tetapi, kata-kata tersebut bisa menjadi gambaran dari kondisi instansi kesehatan di negeri ini.
Bila ada berita yang mengangkat isu seputar kesehatan, bisa dipastikan narasi yang digunakan selalu masalah infrastruktur yang tidak memadai lagi timpang antara daerah yang satu dengan yang lain. Kondisinya bahkan sangat miris bila kita melihatnya dalam bentuk foto yang ditampilkan oleh media massa baik elektronik maupun cetak. Bila sudah begitu, kami selaku garda terdepan kesehatan tidak kuasa untuk membela diri. Kenyataan seperti itu memang benar adanya.
Lagi-lagi, pembangunan yang terkesan jawa-sentris menjadi kambing hitam atas tidak meratanya infrastruktur kesehatan di luar jawa. Menyalahkan pemerintah yang abai menjadi alasan yang selalu diulang-ulang bila masalah muncul. Sikap menunggu bantuan dari pusat seperti menjadi satu-satunya solusi jitu. Tapi, benarkah tidak ada solusi lainnya ?
Dokter harus bisa memahami dan peka, itu pengingat dari saya. Kenapa ? Karena, mau bagaimanapun, persoalan infrastruktur ini berkaitan dengan pengambilan kebijakan. Pengambilan kebijakan bisa berasal dari instansi pemerintah, lembaga kesehatan, maupun lembaga social masyarakat. Dokter yang baik harus memahami bagaimana proses pengambilan kebijakan itu berlangsung.
Bila kita sebagai dokter mengerti bagaimana aturan mainnya, maka kita bisa mengetahui bagaimana pola distribusi alat-alat kesehatan. Pola distribusi yang baik adalah yang melibatkan peran serta pemerintah, pihak pemodal, dan masyarakat. Keterbukaan informasi dan kesediaan dana menjadi modal penting yang perlu dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Mereka harus saling bersinergi.
Pengadaan barang dalam jumlah banyak pasti sudah diperhitungkan dengan cermat. Pengawasan dari para dokter yang akan menerima hasil pengadaan tersebut juga perlu ditingkatkan agar barang tersebut benar-benar tepat sasaran. Jangan sampai, puskesmas di desa kalah fasilitas dengan P3K di dalam bus kota.
(AL)
Yogyakarta, 4 Oktober 2018
*Tulisan ini dibuat sebagai bentuk jawaban atas tantangan yang diberikan Adibah Afriastini Wenni untuk menulis mengenai isu kesehatan